Jumat, 22 Desember 2017

Pasar Apung Lok Baintan

Hari masih subuh dan rencana kami melihat pasar apung di dekat masjid raya berakhir kecewa. Pasar apung disana hanya ada hari sabtu dan minggu. Tukang parkir di masjid raya mengatakan kepada kami, pergi saja ke Lok Baintan atau ke Kuin, tapi lelaki tua itu menyarankan kami ke Lok saja, disana lebih unik katanya. Dari masjid raya kami ke Bang Amat. Disitu lokasi perahu yg bisa membawa kami ke Lok Baintan. Lokasinya yg berada di tepi sungai Martapura dan akses jalan yang sempit membuat kami memilih perahu menjadi alternatif ke Lok Baintan. Kami tiba di Bang Amat pukul 0615. Itu adalah sebuah warung soto banjar tepat di tepi sungai Martapura, disamping warung itu tertambat beberapa perahu yang di Banjarmasin disebut Kelotok yang siap mengantar wisatawan yang datang. Setelah negosiasi harga dengan pemilik perahu, kami sepakat dengan tarif 300rb pp Lok Baintan. Itu adalah tarif standar tak peduli berapa orang penumpangnya.

Bergegas lelaki muda pemilik kapal itu menyiapkan kelotoknya, dibentangkannya karpet berukuran 2 x 1,5 meter sebagai alas buat kami duduk. Kelotok itu merupakan perahu kayu berukuran 7 x 2 meter dilengkapi dengan atap yang rendah, ruang penumpangnya yang rendah itu memaksa penumpang harus merangkak untuk masuk. Kemudinya berada di depan berupa setir mobil, di bagian depan dilengkapi pintu kaca untuk pengemudi melihat dan dibiarkan terbuka, mesinnya berada di bawah lantai ruang penumpang, yang kalau mau dihidupkan harus diengkol dahulu. Hanya tersedia bangku di belakang kapal jika penumpang ingin bersantai. Dibukanya papan lantai kayu untuk mengengkol mesin kapal. Sebentar saja suara tok tok tok mesin menyala dan kami bersiap berangkat menuju Lok Baintan. Setelah semua siap, lelaki itu duduk di depan memegang kemudi.

Berlayar menyusuri sungai Martapura di atas sebuah kelotok di pagi yang tenang, begitu mengesankan. Di pinggir sungai itu terdapat banyak kerambah, tempat orang memelihara ikan patin, bawal,  dan nila. Ikan-ikan itu menjadi menu makanan yang banyak ditemui di tempat-tempat makan di Banjarmasin. Tidak jauh dari situ masih terdapat pepohonan sagu yang nampak liar, walau pepohonan itu nampak tak bertuan sebenarnya ada pemiliknya terang lelaki itu. Sungai Martapura begitu tenang pagi itu, hanya sesekali bertemu dengan jukung, sampan kecil dengan dayung yang banyak ditemui di sungai-sungai di Banjarmasin. Sebuah jukung melintas di samping kiri kelotok kami, berisi 3 orang dan beberapa karung barang muatan, seorang diantaranya anak sekolah. Sepertinya seorang ibu pergi mengantarkan anaknya sekolah pagi itu.

Setiap rumah di pinggir sungai itu memiliki satu Jukung. Rumah-rumah di sepanjang sungai Martapura itu adalah rumah kayu sederhana. Lantainya hampir tenggelam di permukaan air. Pagi itu mulai nampak beberapa orang mandi di belakang rumahnya, anak-anak dengan riang mandi bersama ibunya, bermain dengan saudaranya. Sepertinya suara bising mesin kelotok mulai membangunkan orang-orang di sepanjang sungai itu. Seorang remaja berkaos merah terjun ke sungai, ia berenang ke tengah, lalu kembali ke belakang rumahnya, saya pikir itu adalah cara mandi dan membangunkan tubuh paling cepat pagi itu. Di tempat lain, nampak seorang Acil di atas Jukung sedang menawarkan kue-kue dagangannya dari rumah ke rumah. Acil artinya ibu, sedangkan bapak disebut Amang dalam bahasa Banjar, lelaki pemilik kelotok itu memberitahukan. Jalan di depan rumah-rumah di sepanjang sungai Martapura itu dihubungkan dengan titian, titian adalah jalan kayu selebar 1 meter.

Perjalanan kami masih jauh. Dari warung soto Bang Amat ke pasar terapung Lok Baintan memakan waktu sekitar 50 menit. Sepanjang perjalanan itu pemilik kelotok bercerita kepada saya. Dirinya memulai mengemudikan kelotok sejak tahun 2002, sebelumnya ia hanya sebagai asisten. Baru tahun itu ia bisa membeli sebuah kelotok seharga 3,5 juta. Kelotok itu akhirnya dijual lagi seharga 9 juta. Kini kelotok yang dimilikinya itu takkan dijualnya lagi, padahal pernah ada yang menawar 20 juta. Pasar kelotok disini masih cukup tinggi, karena jenis kelotok atap rendah yang dimilikinya sudah jarang di produksi. Ada jenis kelotok baru yang lebih modern, tapi harganya mencapai 150juta, tak sanggup bagi kebanyakan pengusaha kecil disini. Sambil bercerita sesekali ia melihat ke belakang, memeriksa air pendingin mesin bersirkulasi. Dibelokkannya perahu menghindari sampah yang mengapung, takut terkena baling-baling katanya.

Di sepanjang sungai itu terpasang rambu-rambu peringatan navigasi pelayaran, namun lelaki itu tak tahu artinya. Ia tak memiliki sertifikat untuk mengemudikan kelotok itu. Tak juga ada pengawasan dari dinas setempat. Usaha kelotok mengantar wisatawan adalah mata pencahariannya, ia memiliki 3 anak, anak sulungnya kelas 6 SD. Itu yang menjadi pikirannya, menarik kelotok tidak tiap hari, ia harus antri dengan 13 rekannya, kadang menunggu hingga 2 hari baru bisa bekerja lagi, memang seperti itu disini.

Akhirnya kami sampai di Lok Baintan. Puluhan jukung tampak memenuhi sisi sungai Martapura pagi itu, 2 kelotok sudah lebih dulu hadir dibandingkan kami, mereka dikelilingi oleh jukung-jukung sembari menawarkan dagangannya. Di atas jukung itu, para acil menjual buah-buahan, sayur, kue, ada juga yg menjual perlengkapan dapur dan soto. Beberapa jukung mulai mendekati kami, menawarkan jeruk, kue, dan buah lainnya. Beli pak, jeruknya pak, begitu rayu para acil. Saya akhirnya membeli kue, ikan kering, dan keripik pisang, teman saya membeli jeruk dan pisang. Berkali-kali para acil menawarkan jeruk namun saya tolak, saya kurang suka makan jeruk pagi-pagi. Dibanding Kuin, pasar apung Lok Baintan memang unik, disini jukung terbawa arus dan ketika sudah hanyut pemilik jukung harus mendayung kembali ke atas, begitu seterusnya. Sebuah perahu besar terlihat mengumpulkan semua barang-barang dari jukung, sepertinya diborong dan akan dijual di Banjarmasin.

Hari beranjak siang, setelah puas menyaksikan aktivitas masyarakat di pasar Lok Baintan, kami kembali. Bang, kita pulang kata saya. Lelaki itu segera memutar kelotoknya. Meninggalkan para acil yang masih sibuk menawarkan dagangannya. Sebenarnya ada beberapa amang,  namun jumlahnya pagi itu sangat sedikit. Selama perjalanan pulang ke Soto Bang Amat saya merebahkan diri di lantai kapal. Pukul 0815 kami tiba di soto Bang Amat, setelah kelotok tertambat, saya serahkan ongkos kami ke lelaki itu sambil berterima kasih. Terima kasih, bay.

*sejak bercerita di kelotok ia selalu memanggil saya bay (bang)





Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...