Jumat, 22 Desember 2017

Pasar Apung Lok Baintan

Hari masih subuh dan rencana kami melihat pasar apung di dekat masjid raya berakhir kecewa. Pasar apung disana hanya ada hari sabtu dan minggu. Tukang parkir di masjid raya mengatakan kepada kami, pergi saja ke Lok Baintan atau ke Kuin, tapi lelaki tua itu menyarankan kami ke Lok saja, disana lebih unik katanya. Dari masjid raya kami ke Bang Amat. Disitu lokasi perahu yg bisa membawa kami ke Lok Baintan. Lokasinya yg berada di tepi sungai Martapura dan akses jalan yang sempit membuat kami memilih perahu menjadi alternatif ke Lok Baintan. Kami tiba di Bang Amat pukul 0615. Itu adalah sebuah warung soto banjar tepat di tepi sungai Martapura, disamping warung itu tertambat beberapa perahu yang di Banjarmasin disebut Kelotok yang siap mengantar wisatawan yang datang. Setelah negosiasi harga dengan pemilik perahu, kami sepakat dengan tarif 300rb pp Lok Baintan. Itu adalah tarif standar tak peduli berapa orang penumpangnya.

Bergegas lelaki muda pemilik kapal itu menyiapkan kelotoknya, dibentangkannya karpet berukuran 2 x 1,5 meter sebagai alas buat kami duduk. Kelotok itu merupakan perahu kayu berukuran 7 x 2 meter dilengkapi dengan atap yang rendah, ruang penumpangnya yang rendah itu memaksa penumpang harus merangkak untuk masuk. Kemudinya berada di depan berupa setir mobil, di bagian depan dilengkapi pintu kaca untuk pengemudi melihat dan dibiarkan terbuka, mesinnya berada di bawah lantai ruang penumpang, yang kalau mau dihidupkan harus diengkol dahulu. Hanya tersedia bangku di belakang kapal jika penumpang ingin bersantai. Dibukanya papan lantai kayu untuk mengengkol mesin kapal. Sebentar saja suara tok tok tok mesin menyala dan kami bersiap berangkat menuju Lok Baintan. Setelah semua siap, lelaki itu duduk di depan memegang kemudi.

Berlayar menyusuri sungai Martapura di atas sebuah kelotok di pagi yang tenang, begitu mengesankan. Di pinggir sungai itu terdapat banyak kerambah, tempat orang memelihara ikan patin, bawal,  dan nila. Ikan-ikan itu menjadi menu makanan yang banyak ditemui di tempat-tempat makan di Banjarmasin. Tidak jauh dari situ masih terdapat pepohonan sagu yang nampak liar, walau pepohonan itu nampak tak bertuan sebenarnya ada pemiliknya terang lelaki itu. Sungai Martapura begitu tenang pagi itu, hanya sesekali bertemu dengan jukung, sampan kecil dengan dayung yang banyak ditemui di sungai-sungai di Banjarmasin. Sebuah jukung melintas di samping kiri kelotok kami, berisi 3 orang dan beberapa karung barang muatan, seorang diantaranya anak sekolah. Sepertinya seorang ibu pergi mengantarkan anaknya sekolah pagi itu.

Setiap rumah di pinggir sungai itu memiliki satu Jukung. Rumah-rumah di sepanjang sungai Martapura itu adalah rumah kayu sederhana. Lantainya hampir tenggelam di permukaan air. Pagi itu mulai nampak beberapa orang mandi di belakang rumahnya, anak-anak dengan riang mandi bersama ibunya, bermain dengan saudaranya. Sepertinya suara bising mesin kelotok mulai membangunkan orang-orang di sepanjang sungai itu. Seorang remaja berkaos merah terjun ke sungai, ia berenang ke tengah, lalu kembali ke belakang rumahnya, saya pikir itu adalah cara mandi dan membangunkan tubuh paling cepat pagi itu. Di tempat lain, nampak seorang Acil di atas Jukung sedang menawarkan kue-kue dagangannya dari rumah ke rumah. Acil artinya ibu, sedangkan bapak disebut Amang dalam bahasa Banjar, lelaki pemilik kelotok itu memberitahukan. Jalan di depan rumah-rumah di sepanjang sungai Martapura itu dihubungkan dengan titian, titian adalah jalan kayu selebar 1 meter.

Perjalanan kami masih jauh. Dari warung soto Bang Amat ke pasar terapung Lok Baintan memakan waktu sekitar 50 menit. Sepanjang perjalanan itu pemilik kelotok bercerita kepada saya. Dirinya memulai mengemudikan kelotok sejak tahun 2002, sebelumnya ia hanya sebagai asisten. Baru tahun itu ia bisa membeli sebuah kelotok seharga 3,5 juta. Kelotok itu akhirnya dijual lagi seharga 9 juta. Kini kelotok yang dimilikinya itu takkan dijualnya lagi, padahal pernah ada yang menawar 20 juta. Pasar kelotok disini masih cukup tinggi, karena jenis kelotok atap rendah yang dimilikinya sudah jarang di produksi. Ada jenis kelotok baru yang lebih modern, tapi harganya mencapai 150juta, tak sanggup bagi kebanyakan pengusaha kecil disini. Sambil bercerita sesekali ia melihat ke belakang, memeriksa air pendingin mesin bersirkulasi. Dibelokkannya perahu menghindari sampah yang mengapung, takut terkena baling-baling katanya.

Di sepanjang sungai itu terpasang rambu-rambu peringatan navigasi pelayaran, namun lelaki itu tak tahu artinya. Ia tak memiliki sertifikat untuk mengemudikan kelotok itu. Tak juga ada pengawasan dari dinas setempat. Usaha kelotok mengantar wisatawan adalah mata pencahariannya, ia memiliki 3 anak, anak sulungnya kelas 6 SD. Itu yang menjadi pikirannya, menarik kelotok tidak tiap hari, ia harus antri dengan 13 rekannya, kadang menunggu hingga 2 hari baru bisa bekerja lagi, memang seperti itu disini.

Akhirnya kami sampai di Lok Baintan. Puluhan jukung tampak memenuhi sisi sungai Martapura pagi itu, 2 kelotok sudah lebih dulu hadir dibandingkan kami, mereka dikelilingi oleh jukung-jukung sembari menawarkan dagangannya. Di atas jukung itu, para acil menjual buah-buahan, sayur, kue, ada juga yg menjual perlengkapan dapur dan soto. Beberapa jukung mulai mendekati kami, menawarkan jeruk, kue, dan buah lainnya. Beli pak, jeruknya pak, begitu rayu para acil. Saya akhirnya membeli kue, ikan kering, dan keripik pisang, teman saya membeli jeruk dan pisang. Berkali-kali para acil menawarkan jeruk namun saya tolak, saya kurang suka makan jeruk pagi-pagi. Dibanding Kuin, pasar apung Lok Baintan memang unik, disini jukung terbawa arus dan ketika sudah hanyut pemilik jukung harus mendayung kembali ke atas, begitu seterusnya. Sebuah perahu besar terlihat mengumpulkan semua barang-barang dari jukung, sepertinya diborong dan akan dijual di Banjarmasin.

Hari beranjak siang, setelah puas menyaksikan aktivitas masyarakat di pasar Lok Baintan, kami kembali. Bang, kita pulang kata saya. Lelaki itu segera memutar kelotoknya. Meninggalkan para acil yang masih sibuk menawarkan dagangannya. Sebenarnya ada beberapa amang,  namun jumlahnya pagi itu sangat sedikit. Selama perjalanan pulang ke Soto Bang Amat saya merebahkan diri di lantai kapal. Pukul 0815 kami tiba di soto Bang Amat, setelah kelotok tertambat, saya serahkan ongkos kami ke lelaki itu sambil berterima kasih. Terima kasih, bay.

*sejak bercerita di kelotok ia selalu memanggil saya bay (bang)





Selasa, 28 November 2017

What a Journey! Kia Ora

Hari itu tanggal 4 bulan November tahun 2017, aku harus ke bandara sebelum dzuhur karena pesawat jam 1530. Paling tidak jam 1330 aku harus tiba. Perjalanan ke Jakarta dengan kereta listrik tidak pasti meskipun hari sabtu, meskipun paling tidak agak lengang. Aku agak telat, kereta ke Jakarta baru kunaiki hampir jam 1200. Seharusnya aku tiba di Gambir jam 1300, itu telah lewat 15 menit. Saat tiba di halte Damri, bus bandara sudah jalan, terpaksa harus naik bus berikutnya yang jalan 15 menit lagi. Lalu lintas ke bandara agak merah kulihat di maps, itu artinya macet, aku sangsi bisa tiba dalam 30 menit. Padahal penerbangan ke luar negeri harus tiba 2 jam sebelumnya. Benar saja, baru saja masuk ke dalam tol,  kendaraan sudah berjalan merayap. Kuulangi membuka maps, menghitung lama perjalanan, dan sepertinya akan telat. Jika aku tidak membawa paspor pak Haryo dan uang jalan tak mengapa, masalahnya uang jalan dan paspor aku yang pegang. Kacau, bisa-bisa gagal berangkat cemasku. Sebenarnya macet di tol hanya di pertemuan dengan tol JORR, setelahnya itu lancar.

Aku mengabari Aleik kalau jalan macet dan agak telat. Pak Haryo sudah di bandara setengah jam yang lalu. Bodoh kau Nico, kenapa tadi tak naik taksi saja, lebih cepat. Kau bisa lewat JORR, dalam setengah jam kau akan tiba di bandara!. Hatiku semakin was was, di boarding pas kulihat jam 1445 bagasi drop, sementara sekarang sudah 1430 aku masih di dalam bis, terjebak macet di tol. Sepanjang jalan aku istighfar, berdoa semoga Allah memberi kemudahan. Sesekali kulihat ke kaca depan mobil ingin memastikan bahwa tidak ada kecelakaan yang membuat macet ini, semoga hanya karena pertemuan jalur tol JORR.

Sesaat kemudian Aleik memberitahu kalau boarding jam 1515. Cukup lega mendengarnya, aku masih punya 30 menit menuju bandara. Setiap detik dan menit kuhitung, dikira, aku akan sampai di terminal 2 jam 1500. Lepas dari macet, belum melegakan perasaanku, karena masih ada pintu tol dan pemeriksaan petugas Damri. Belum lagi nanti bus akan ke terminal 3 dulu, terminal 1 dan terakhir baru ke terminal 2, bodohnya aku. Lagi-lagi aku memaki diriku, kenapa aku naik Damri, sepanjang sisa perjalanan aku hanya bisa menyesali keputusanku.

Allah menyelamatkanku, aku berlari saat bus berhenti di terminal internasional 2D, kupercepat gerakan saat melewati pemeriksaan, untung penumpang tidak terlalu ramai, tepat jam 1455 aku tiba di konter Check in Malaysia Airlines, disitu sudah sepi, satu konter sudah tutup, bergegas kuhampiri petugasnya. Raut ramah wajah petugas menenangkan aku, kuserahkan paspor ku dan pak Haryo dan handphone. Petugas itu bertanya apakah penumpang yang satu lagi sudah tiba. Aku bilang ya. Kuhubungi pak Haryo, ternyata beliau masih di lobby luar bersama aleik. Kulihat mereka mulai masuk. Aku hampiri pak Haryo dan meminta maaf aku sangat telat. Akhirnya boarding pass kami dapatkan dan 10 menit lagi baru akan masuk ke pesawat. Malaysia Airlines kami pilih karena murah, selain itu meski harus transit di Kuala Lumpur namun kami tak memerlukan visa. Opsi lainnya waktu itu naik Qantas, namun kami ragu apakah harus mengurus visa transit atau tidak, meski di situs imigrasi Australia mengatakan warga negara Indonesia tidak perlu visa transit jika kurang dari 72 jam. Lagipula Malaysia Airlines makanannya terjamin halal.

Seperti biasa, di bandara Soetta, waktu untuk take off dan landing cukup lama, pesawat harus antri. Tidak seperti Kuala Lumpur Airport yang landasannya ada 3, di Soetta dengan hanya 2 landasan dan lalu lintas pesawat yang tinggi jadilah waktu antrinya lebih lama. Penerbangan ke KL hanya 2 jam, jam 1800 atau 1900 waktu KL pesawat mendarat. Kami shalat magrib di surau bandara. Jam 2130 kami masuk ke boarding room dan bersiap masuk ke pesawat. Setelah semua siap, pesawat kemudian take off menuju Auckland.

Entah mengapa selama di pesawat tubuhku merasa sangat fit. Tidak seperti biasanya yang selalu mual, padahal makanannya juga tidak terlalu enak. Kecuali Snack kacang masinnya, aku suka. Pukul 1300 pesawat mendarat di Auckland. Setelah proses imigrasi selesai, selanjutnya pemeriksaan bea cukai. Aku agak khawatir, pemeriksaannya akan ketat, peringatan untuk membuang bahan makanan terpampang sepanjang jalan ke bea cukai, kalau ketahuan dan tidak dilaporkan maka didenda. Aku tuliskan bawa makanan dalam form bea cukai karena aku dan aleik membawa beberapa Snack dari Indonesia. Saat ditanya oleh 2 ibu petugas bea cukai bandara apa makanan yg kami bawa, aku katakan hanya bawa Snack, kacang masin atau peanut. Aleik ditanya ada yang lain dibawa, ya, bawa obat-obatan. Pemeriksaan seperti itu yang penting kita harus jujur. Petugasnya juga tersenyum saat kami berterus terang. Dan akhirnya kami lewat saja, terakhir bagasi kami masuk mesin pemindai lagi, lalu selesai.

Sampai di luar sudah pukul 1400, itu artinya jadwal bus sudah lewat. Kami harus segera memesan bus berikutnya. Setelah mencari informasi di pusat informasi, bus berikutnya juga sudah penuh. Pihak informasi menawarkan opsi naik bus travel yang biayanya 2 kali lipat. Ya mau bagaimana lagi, akhirnya kami pesan bus travel ke Rotorua itu. Kami memang dari awal tidak mem-booking bus intercity ke Rotorua karena takut proses imigrasi dan bea cukai akan lama. Bus travel baru akan siap jam 1800, jadi kami masih bisa makan siang dan shalat dulu. Kami makan siang di lantai 2, disitu ada KFC, sembari menunggu pesanan, kami bergantian shalat. Tempat shalat di terminal internasional bandara Auckland terletak di lantai 2 mengarah ke toilet lalu menuju ke sebuah lorong terbuka. Di tengah lorong itu dibentangkan Karpet seukuran 3x3 meter dan diberi tulisan di dindingnya "Moslem Pray Area". Juga tersedia setumpuk sajadah dan beberapa alquran disana.

Pukul 1800, setelah menunggu 3 orang penumpang tujuan Hamilton, bus travel berangkat. Bus itu adalah Mercedes van dengan kapasitas 12 penumpang, di bagian belakang ada ruang untuk bagasi. Bersama kami ada seorang wanita paruh baya, sepertinya dia pekerja kantoran, karena hampir sepanjang perjalanan ia membalas email di handphone nya. Dua penumpang lainnya adalah pasangan muda yang membawa bayi, sepertinya mereka baru kembali dari liburan. Mereka semua turun di Hamilton, kota di antara Auckland dan Rotorua. Supir travel kami bernama Jhony, ia keturunan India, namun sudah lama di NZ. Pukul 2000 Setelah mengantar 3 penumpang tadi, Jhony mengatakan harus mengisi bahan bakar dulu, perjalanan ke Rotorua masih 2 jam lagi. Dari Auckland hingga ke Rotorua aku melihat beberapa ruas jalan masih diperbaiki, namun tidak terdapat kemacetan karenanya. Di kiri dan kanan terhampar padang rumput yang luas dibatasi pagar sebagai padang ternak domba, sapi dan kuda. Melintasi jalan menuju Rotorua di kegelapan malam, Jhony memacu Mercedes nya di atas 80 km/jam, dia harus kembali lagi ke Auckland setelah mengantarkan kami.

Pukul 2150 kami tiba di Ledwich Lodge Motel, di tepi danau Rotorua. Lampu ruang resepsionis motel masih menyala, Aleik sebelumnya sudah mengabarkan kalau kami tiba agak larut. Kami langsung memanggil pemilik motel, sesaat keluar lelaki gendut dari pintu belakang. Halo! sahutnya menyambut kami hangat, lalu ia mulai menyiapkan administrasi dan kunci kamar kami. Jhony waktu itu langsung pamit, kami berterima kasih kepadanya sudah diantar dengan selamat. Setelah membayar penginapan selama 7 hari kedepan, Webb nama pemilik motel itu, mengantar kami ke kamar. Pak Haryo di lantai bawah, aku dan Aleik di lantai atasnya. Motel itu memiliki sekitar 14 kamar, setiap kamar dilengkapi kasur dan sofa, bisa untuk bertiga. Di dalamnya ada kamar mandi dan dapur lengkap dengan alat masak.

Setelah menaruh barang, kami langsung keluar mencari makan. Itu sudah jam 2200, sebagian besar restoran sudah tutup sejam yang lalu. Setelah memutar berusaha mencari tempat makan, akhirnya kami kembali ke EatStreat. Kawasan restoran di Rotorua, ada satu restoran yang masih buka. Kami memesan roti bawang, kentang, ayam dan goreng cumi, beserta air putih, lumayan untuk mengganjal perut malam ini. Setelah makan malam yang larut, kami kembali ke hotel dan bersiap untuk acara besok.

Pagi itu aku tak bisa tidur, efek jet lag masih mengacaukan pola istirahat tubuhku, suhu dingin ruang kamar juga mengganggu tidurku. Aku hanya sarapan sisa kentang dari KFC kemarin siang, kami tak sempat membeli makanan pagi ini, meskipun sempat, kami lebih memilih istirahat. Jam 0850 kami  menuju ke tempat acara. Tiba disana acara penyambutan oleh suku Maori sudah dimulai. Istirahat sore aku keluar ke ISite membeli tiket bus pulang, takut kami tak kebagian lagi. Aku pesan bus jam 1600 ke Auckland Internasional airport hari Jumat, itu setelah acara Eksekursi.

Hari pertama yang melelahkan,  pak Haryo bahkan sempat down karena tidak sarapan. Jadilah sore itu kami berbelanja ke market membeli bahan makanan untuk sarapan. Sebelum pulang kami mampir membeli lauk ayam dan domba di Mecca Kebab. Sampai di hotel, aku langsung menanak nasi, perutku sudah terasa lapar. Setelah magrib kami makan malam, itu pukul 1930, disini lagi di akhir musim semi, waktu siang lebih panjang. Cuaca musim semi ini tak menentu, meski sering cerah lusa diperkirakan akan hujan deras, suhu di siang hari sekitar 14 derajat celcius, di malam hari bisa turun hingga 9 derajat.

Keesokan pagi kami agak telat ke acara, malam itu efek jetlag belum juga hilang, pola tubuhku semakin kacau, meskipun suhu dingin tidak mengganggu lagi sejak heater di samping tempat tidurku kunyalakan kemarin siang. Malam tadi aku mencoba tidur jam 2000, tengah malam aku sudah terbangun dan tak bisa tidur lagi hingga pagi, meskipun mencoba, pak Haryo juga sama. Di toko Asia Market kemarin kami beli indomie, beras, dan cemilan, kami juga mampir ke ParknSave membeli telur, udang, lalapan dan snack. Nasi dan mie itulah yang dimasak Aleik jadi nasi goreng untuk sarapan pagi tadi ditambah lauk makan malam yang masih tersisa.

Malam ini kami tak perlu masak makan malam karena ada acara formal dinner. Makanan di Novotel malam ini sangat enak dibanding makan siang 2 hari ini, panitia menyajikan banyak masakan sea food yang lezat. Alhamdulillah sewaktu mengirimkan form registrasi peserta aku mencantumkan permintaan makanan halal ke panitia dan selama 2 hari ini kami tidak menemukan makanan dari babi. Saat pulang ke hotel aku pastikan akan tidur jika benar-benar mengantuk biar tidurku bisa lelap.

Aku bangun pukul 0430 subuh itu dan langsung shalat. Setelah tidur lagi sebentar pagi itu, aku dan Aleik menyiapkan sarapan pagi, dengan telur dan mie. Hari ini kami telat lagi ke pertemuan hari ke 3, sekitar 5 menit, itu karena hujan deras sekali, untung sudah berhenti pas jam 9. Istirahat makan siang kami selalu kembali ke hotel untuk shalat. Sore itu kami mengelilingi kota Rotorua, melihat toko-toko penjual suvenir.

Hari kamis adalah pertemuan terakhir. Sore harinya kami ke kota lagi, membeli suvenir dan makanan. Waktu itu sedang ada acara di pusat kota, ada festival makanan. Kami kembali ke hotel dengan membawa penuh belanjaan.

Hari terakhir di Rotorua, tuan rumah mengajak para peserta ke Agrodome, sebuah tempat atraksi domba, lucu. Di awal acara dipertontonkan berbagai jenis domba, lalu pertunjukan anjing penggembala domba, mencukur domba, memberi makan sapi dan bayi domba, lucu.

Hiburan domba lucu di Agrodome

Kawah belerang di Te Puia

Asal suku Maori

Setelah membeli beberapa suvenir dan menikmati kue yang disediakan panitia, perjalanan kami lanjutkan. panitia menyediakan 2 bus besar. Tujuan berikutnya adalah Te Puia, sebuah kampung suku Maori. Selain melihat museum suku Maori disana kami melihat kawah belerang sumber air panas. Rotorua pada zaman dahulu adalah pegunungan besar yang meletus. Di sekitar Rotorua banyak ditemui sumber mata air panas hingga hari ini. Dari Te Puia aku baru tahu jika suku Maori berasal dari Indochina, mereka menyebar melalui Kalimantan dan terus berlayar hingga ke Selandia Baru, sebagian dari mereka berlayar ke Utara menuju Hawai dan pulau sekitarnya. Beberapa kata seperti "Lima, Mata" merupakan kata-kata di nusantara yang juga sama digunakan suku Maori. Pukul 1500, kami kembali ke hotel dan langsung bersiap menuju stasiun bus karena bus ke Auckland pukul 1615.

Tepat pukul 1615 bus yang kami tumpangi tiba.



akan dilanjutkan nanti ya...

Selasa, 11 Juli 2017

Proyek Jalan Yang Hebat


Saya memutuskan untuk naik bus dan sangat ingin melihat pemandangan yang indah sepanjang perjalanan. Saya duduk di belakang sopir, di dekat jendela, agar mata ini bisa leluasa memandang ke depan. Cuaca pagi ini cukup cerah meski suasana masih gelap, saya berangkat subuh waktu itu.
Sebentar lagi bus memasuki perbatasan Lampung-Bengkulu saya mengetahuinya dari papan petunjuk yang saya lihat, saya tahu bus melewati jalan baru menuju Bengkulu. Jalan dipisahkan menjadi dua jalur utama dan satu jalur utama digunakan hanya untuk satu arah saja. Mata saya yang sudah mulai mengantuk langsung tertarik untuk melihat apa yang terjadi di sini. Setiap jalur jalan itu memiliki lebar sekitar 9 meter yang terbagi menjadi 2 lajur kendaraan dan 1 lajur darurat. Saya pikir kami sedang masuk ke jalan tol baru, tapi sudah beberapa kilo meter saya tidak melihat ada loket pembayaran, Hmmmmm. Jalan tersebut sebagian besar terbuat dari beton sedang sebagian yang lain dari aspal hotmix. Di sisi jalan juga dibuatkan saluran air tertutup hanya beberapa lubang dengan besi di atasnya sebagai jalur air masuk dibuat sepanjang saluran itu. Di sisi jalan juga di pasang besi penahan (guard rail). Jalan baru ini membelah hutan yang lebat, perkebunan karet dan sawit di daerah ini, juga pemukiman penduduk. Setiap pemukiman yang dipisahkan oleh jalan yang sangat lebar tersebut dibuatkan jembatan diantaranya dan selain itu di setiap pemukiman dan perkebunan juga dibuatkan jalan masuk dan keluar menuju jalan utama, seperti jalan tol saja. Namun tidak banyak pemukiman yang dipisahkan oleh jalan ini, jalan baru ini sepertinya memang dibuat untuk menghindari pemukiman sebisa mungkin.
Tidak ada persimpangan langsung di jalan ini, setiap jalan masuk dan keluar dari dan ke jalan utama dibuatkan jalan lain di sisinya. Beberapa lampu penerangan jalan jenis led dengan tenaga surya terpasang hanya di pertemuan-pertemuan jalan itu. Setiap 2 kilometer terdapat tanda khusus telepon darurat yang mungkin terhubung ke suatu instansi yang bertanggungjawab mengelola jalan ini. Saya melihat sebuah mobil patroli dengan dua orang petugas di dalamnya berada di sisi jalan, namun sepertinya bukanlah mobil polisi saya pikir itu juga mobil patroli instansi yang bertanggung jawab mengelola jalan ini. Dengan menyalakan lampu diatas kendaraannya seakan mereka mengatakan ‘kami mengawasi kalian’, sehingga sopir-sopir juga harus menjaga kecepatannya jika tidak ingin berurusan dengan petugas patroli itu. Selain itu, beberapa kamera pemantau kecepatan juga terpasang di pinggir jalan ini. Jalannya sangat mulus tanpa lubang dan beberapa guncangan hanya terjadi di setiap persambungan jembatan, selebihnya halus mulus tak terasa. Di sisi jalan juga tampak tersedia beberapa lokasi tempat istirahat atau perbaikan darurat. Wah! hebat sekali Bengkulu saat ini, berapa banyak waktu yang bisa di hemat dengan menggunakan jalan baru ini. Bus selanjutnya keluar di daerah Air Sebakul Kota Bengkulu namun jalan itu belum habis, dari marka penunjuk saya baca jalan baru itu bisa terus mengarah ke Padang, Hebat...ckckck.
Masuk di jalanan kota yang belasan tahun lalu sering saya lewati, tidak ada perubahan pada jalan-jalan kota ini, lebarnya tidak bertambah mungkin karena sudah banyak pemukiman penduduk di sisi-sisi jalan, namun kualitas jalan ini terlihat lebih baik, jalannya mulus tanpa lubang dan marka jalannya juga sangat jelas, jalan-jalan untuk para pejalan kaki juga  dibuat dengan rapi sepanjang jalan kota.
Bus berhenti di persimpangan lampu merah kota Sydney dan membangunkan saya dari mimpi, sebuah mimpi tentang perjalanan ke kampung halaman saya. Perjalanan 3 jam dari Canberra ke Sydney tidak terasa, di kanan dan kiri jalan terhampar padang rumput yang luas juga ada peternakan sapi dan domba yang bebas berkeliaran dalam kandang yang sangat luas. Bus membelah kabut dingin yang tebal pagi itu, yang membuat saya sempat berpikir kalau itu awan. Beberapa rambu peringatan "hati-hati' kanguru melintas terpasang di daerah hutan. Pemandangan yang betul-betul indah dan perjalanan yang begitu nyaman, saya berpikir bagaimana mereka bisa membangun ini semua. Mereka menggunakan seluruh sumber daya yang mereka miliki dan membangun suatu kesempurnaan dengan itu, termasuk jalan yang mulus itu. Oh andai negeriku bisa melakukan ini semua...

Angkot: Roda Kehidupan Tak Berputar Disini


Mungkin anda pernah mendengar ungkapan 'Roda Kehidupan Pasti Berputar'. Ungkapan itu sepertinya tak berlaku di dunia Angkot, transportasi umum berupa mobil berpenumpang belasan orang yang hampir ada di seluruh kota di Indonesia.

Tulisan ini hasil penelusuran singkat bersama orang-orang yang terlibat di dalam per-angkot-an di kota Bandung.

Kejayaan Angkot
Pada tahun 80an-90an mungkin industri angkot dirintis di kota Bandung. Pada waktu itu orang yang memiliki kendaraan pribadi masih sangat sedikit. Masyarakat sangat mengandalkan Angkot. Usaha yang dirintis oleh beberapa orang ini lalu berkembang, dan menjadi andalan. Seiring perkembangan kota, jumlah angkot semakin bertambah. Masa-masa ini adalah masa-masa jaya pemilik dan pengemudi Angkot. Penghasilan yang di dapat oleh pengemudi dan pemilik dari usaha Angkot sangatlah besar. Mereka bisa membayar kredit Angkot, bahkan tidak sedikit yang mampu membangun rumah hanya dari usaha Angkot. Para pengusaha yang awalnya punya satu armada, sedikit-sedikit berkembang hingga belasan dan bahkan puluhan. Sementara para pengemudi waktu itu cukup bekerja setengah hari, hasilnya sudah sangat wah. Kebanyakan satu Angkot dioperasikan dua orang pengemudi yang berganti shift pagi dan siang, sementara di malam hari banyak yang beristirahat. 

Industri ini juga berhasil menarik para pekerja kalangan bawah, mereka para pengemudi banyak yang hanya berbekal ijazah SMP, SD, bahkan ada yang tak bersekolah. Mereka datang dari berbagai daerah menikmati manisnya industri angkutan umum di kota Bandung. Sementara waktu itu, para penumpang rela menunggu dan berebut untuk naik angkot. Mulai dari pelajar, mahasiswa, ibu-ibu ke pasar, dan para pekerja, setia menggunakan Angkot. Sampai-sampai mereka rela duduk di lantai angkot, berimpitan, bergelantungan di pintu agar bisa sampai ke tempat tujuan. Saat krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998, saat banyak orang merasa khawatir akan perekenomiannya, industri angkot tak terpengaruh, tuh. Penghasilan para pengemudi waktu itu bisa mencapai 250-300 ribu dalam sehari, sudah diluar makan dan bahan bakar. Masa-masa ini adalah masa indah kehidupan pengusaha dan pengemudi angkot.

Mereka pun Mulai Kolaps
Pertumbuhan ekonomi di Kota Bandung, lalu meningkatnya ekonomi masyarakat secara perlahan mulai memberikan pengaruh pada industri ini. Banyak orang mulai memiliki kendaraan pribadi dan meninggalkan Angkot. Kepemilikan motor dengan cicilan yang murah perlahan-lahan mulai mengurangi jumlah pengguna Angkot. Kondisi ini direspon tidak dengan meningkatkan pelayanannya, para pengemudi angkot seakan terlena dan tak menyadari bahwa para penumpang mulai menimbang untung rugi menggunakan angkot dan membandingkannya dengan membeli  motor. Kondisi ini terus berjalan hingga tahun 2000an. Pada masa-masa ini mulai timbul persaingan antara Angkot dan kepemilikan kendaraan. Faktor ekonomis, keamanan, kecepatan, menerobos sempitnya jalanan di Kota Bandung telah menjadikan sepeda motor mengalahkan semua moda, sepeda motor mulai mendominasi dan menjadi pilihan masyarakat, sedang angkot perlahan mulai ditinggalkan.

Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi lalu memunculkan masalah di kota. Kemacetan adalah hal yang nampak dan paling dirasakan. Pemerintah lalu muncul dengan wacana untuk membangun angkutan massal, dengan bus dan kereta. Sementara angkot, industri ini mulai diperketat dengan pengelolaan yang harus berbadan hukum, meski di lapangan masih diurus oleh pemilik masing-masing. Industri ini kini mulai dipandang negatif, mulai dari masalah kenyamanan dan keamanan, hingga kejelasan tarif dan stigma buruk lainnya. Tak ayal pemerintah semakin menjadi-jadi untuk mengembangkan angkutan massal, sementara angkot tetap ditinggalkan. Aturan baru tentang pengelolaan yang berbadan hukum diikuti oleh aturan standar pelayanan yang harus diberikan angkot bukannya menyelamatkan industri ini, masyarakat sudah tidak tertarik dengan angkot, kecuali mereka yang tidak memiliki kendaraan.

Kondisi-kondisi tersebut semakin menekan para pengusaha, pengeluaran untuk biaya perawatan lebih besar dari pemasukan yang didapat akibat rendahnya jumlah penumpang. Sekarang anda akan melihat banyak angkot Kota Bandung berlalu-lalang hanya membawa 1 atau 2 penumpang, bahkan seringkali kosong. Lalu anda juga akan melihat banyak angkot yang diparkir dan tidak beroperasi hingga berhari-hari. Semua itu karena tidak ada sopir yang mampu memenuhi setoran akibat rendahnya jumlah penumpang. "Sekarang Angkot sudah susah!", "Angkot sudah kolaps", "bisa dapat 50 ribu sehari saja udah hebat", Itu yang mereka pengusaha dan pengemudi ungkapkan. 

Apalagi sekarang, di Bandung juga mulai berkembang angkutan berbasis aplikasi, murah dan praktis. Kita tinggal memesan darimana dan mau kemana, maka tarif akan muncul. Untuk kota Bandung, terobosan ini cukup membantu terutama ketika kondisi lalu lintas macet parah, angkutan berbasis aplikasi dengan moda motor atau disebut ojek online jadi primadona. Maka angkot telah semakin jauh ditinggalkan. Entah apa perasaan mereka para pengemudi ketika melihat orang-orang lebih banyak menggunakan ojek online, mereka tak bisa berbuat apa-apa. Pemerintah? Sepertinya kehabisan akal untuk mengatasi kondisi ini, apakah akan membantu memperbaiki kondisi industri angkot atau 'membunuhnya perlahan-lahan'. Sudah banyak pengusaha yang lebih memilih menjual angkot-angkot mereka dengan alasan biaya operasional tidak sebanding dengan pendapatan yang diperoleh. "saya akan jual saja angkot saya" begitu kata seorang pengusaha yang telah berkecimpung dalam industri angkot selama lebih dari belasan tahun. Tingginya kepemilikan motor, pembiaran angkutan berbasis aplikasi dan pengembangan sistem angkutan massal baru telah menghancurkan industri angkot di kota Bandung. Akan kah industri ini kembali berputar dan berjaya seperti tahun 1980an? Rasa-rasanya sudah tak mungkin, roda kehidupan tak berputar lagi disini.

Sabtu, 28 Januari 2017

Jalan-Jalan Singkat di Kota Pisa dan Milan

Dari Roma saya melanjutkan perjalanan ke Pisa. Pisa berada di utara Roma. Saya berangkat dengan kereta malam, dinihari bahkan, agar bisa sampai di Pisa pas pagi hari. Rencananya hanya sebentar di sana kemudian lanjut lagi ke Milan. Masih menggunakan kereta Trenitalia, saya berangkat dari stasiun Ostiense kota Roma.

Selama perjalanan saya mencoba untuk tidur, tapi tak bisa. Kereta sampai sekitar pukul 4 pagi, hampir saja terlewat stasiun Pisa, kondisi gelap di luar dan tak terlihat nama stasiunnya, saya putuskan untuk turun, jikalau belum sampai saya bisa lanjut kereta berikutnya, tapi jika terlewat, mungkin akan langsung ke Milan saja, tapi untunglah itu benar Stasiun Pisa.

Suasana sunyi pagi itu, saat di dalam stasiun saya berharap menjumpai colokan listrik, saya perlu mengisi ulang hape dan kamera, tapi tak menemukannya, di kereta tadi juga tak ada tempat isi ulang, duh. Karena tak menemukan tempat isi ulang, saya langsung saja berjalan keluar menuju ke menara miring. Berjalan pelan agar sampai di sana pas matahari terbit. Jarak menara miring dari stasiun tidak terlalu jauh, itu berada di utaranya stasiun, sengaja saya memutar ke arah timur agar pulang bisa melihat daerah sebelah barat.

Saya melintasi jembatan Ponte Di Mezzo di atas sungai Arno yang membelah kota Pisa, suasana subuh dengan sinar lampu kuning di sisi sungai menjadikan pemandangan yang indah.  Saya terus berjalan ke utara dan akhirnya sampai di kawasan menara miring Pisa melalui jalan Cardinale Pietro. Ternyata kawasan itu dilengkapi pagar tinggi yang masih terkunci, saya lalu memutar ke jalan Contessa Matilde, tembok tinggi yang mengelilingi kawasan itu terlihat sudah usang. Saya tiba di pintu sisi barat yang ternyata sudah dibuka, kawasan itu sedang direnovasi termasuk tiga bangunan utama di dalamnya. Di kawasan itu berdiri Menara Pisa, Cattedrale Di Pisa, dan Battistero di San Giovanni. Saat itu Cattedrale Di Pisa sedang direnovasi begitu juga pusat informasi. Suasana masih sepi pagi itu, di sekitar menara tampak dua orang tentara bersiap-siap untuk berpatroli.

Sungai Arno 
Batistero di San Giovanni
Cattedrale di Pisa
Menara Pisa
Setelah puas berfoto-foto ria, saya meninggalkan kawasan itu dan berjalan kaki menuju stasiun sekaligus berkeliling di kota kecil itu. Sampai di pusat kota, saya mampir sebentar di toko pakaian untuk membeli oleh-oleh, mumpung lagi ada diskon. Selesai membeli oleh-oleh saya lalu menyusuri jalan Corso Italia dan membeli beberapa souvenir di sana. Sejak dari Roma saya perhatikan, jika di belahan Eropa utara banyak saya jumpai orang-orang dari Turki dan Afrika utara, sedangkan di Italia ini saya banyak melihat orang-orang dari Asia Selatan. Kereta ke Milan masih lama, masih ada waktu untuk bersantai di pusat Kota Pisa, sambil menunggu, saya putuskan untuk mampir ke pangkas rambut, kepala saya sudah terasa gatal, tarifnya sama dengan di Belanda sekitar 13 euro. Selesai potong rambut saya langsung ke stasiun kereta. Kereta ke Milan sudah siap, saatnya melanjutkan perjalanan.

Kereta ke Milan siang itu tidak terlalu ramai. Di kabin saya waktu itu hanya ada seorang lelaki muda. Jadi saya bisa bersantai. Kereta yang saya naiki itu kelas ekonomi, di dalam gerbong terbagi menjadi beberapa kabin, satu kabin terdiri dari enam tempat duduk. Saya pilih dekat jendela biar bisa memandang bebas ke luar jendela. Jika dari Milan ke Roma disuguhi pemandangan bukit dan perkebunan hijau. Jalur Pisa ke Milan disuguhi pemandangan lautan biru. Kereta tiba di Milan sore hari. Saya bergegas langsung ke hotel.

Dari Stasiun Milan Porta Garibaldi saya pindah kereta naik metro menuju Stasiun Istria. Dibanding Roma yang kusam. Stasiun di Milan lebih bersih. Di Roma, stasiun, kereta, dan sudut kota dipenuhi coretan-coretan cat semprot, saya menduga itu pasi ulah pendukung Roma dan Lazio. Melihat kota Roma waktu itu, saya teringat Jakarta, mirip, coretan di mana-mana, kualitas jalan asal-asalan, trotoar yang buruk, persis. Dari Stasiun Istria saya berjalan kaki ke hotel Music B&B di jalan Alfredo Comandini. Setelah mandi dan menaruh beberapa barang saya bergegas ke pusat kota Milan, ada yang harus saya beli.

Dari Stasiun Istria saya naik metro ke Stasiun San Babila, dari situ saya bergegas ke jalan Corso Europa, membeli souvenir di Juventus Store, lalu ke Inter Store. Mencari Juventus Store gampang, nah mencari toko Inter yang susah karena mereka pindah ke toko baru. Saya harus mampir ke Milan Store untuk menanyakan di mana Inter Store. saya harus bergegas karena sebentar lagi toko akan tutup. Akhirnya saya menemukan toko Inter Store dan mendapatkan souvenir yang saya cari. Tempat berikutnya yang saya tuju adalah San Siro. Meski Seri-A telah berakhir, saya tetap ingin ke datang ke San Siro yang menjadi kandang tim Inter dan Milan, ini adalah salah satu impian saya. Hanya berkeliling di situ karena tur ke dalam stasiun sudah tutup beberapa jam lalu. Setelah menikmati makan malam di tengah kota, saya kembali ke hotel dan istirahat.

Inter Store
stadion San Siro
Jadwal penerbangan kembali ke Belanda pukul 1 siang, pagi-pagi sekali saya bergegas ke pusat kota Milan, hanya itu kesempatan saya untuk melihat kota ini. Tempat yang ingin saya tuju pagi itu adalah Duomo. (bersambung)

Akan dilanjutkan nanti ya....


Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...