Kamis, 03 Oktober 2019

Batu Belliton



Dulu saya pernah ke sini. Ke pulau sebelahnya juga. Waktu masih jadi pelaut. Kapal saya memuat minyak kelapa sawit. Tanjung Pandan ibukota kabupatennya. Pulau ini semakin terkenal setelah Andrea Hirata dan Ahok. Film Laskar Pelangi menambah nilai bahwa pulau ini wajib dikunjungi.

Dulu timah pernah menjadi primadona yang dicari di pulau ini. Lubang-lubang galian tambang mencari logam itu terlihat dari udara. Sebagian sudah ditinggalkan. Lainnya masih terus dikeruk. Tapi kini cerita itu mulai berubah. Banyak yang sadar. Tambang itu hanya memperkaya segelintir orang dan membawa bencana bagi yang lain. Juga sawit. Keseimbangan lingkungan terganggu. Banjir besar pernah dialami. Pemerintah daerah akhirnya sadar. Memelihara lingkungan akan membawa kemaslahatan orang banyak. Jadilah daerah ini diarahkan menjadi tujuan wisata yang harus dikembangkan.

Saat anda tiba, tak perlu pusing mencari penginapan. Mulai dari yang sederhana hingga sekelas resort pun ada. Itulah dampak yang terjadi. Sejak Belitung gencar mempromosikan wisatanya. Sentra produksi oleh-oleh bertebaran di penjuru pulau. Warung-warung kopi Kong Djie menjadi primadona. Belum lagi hidangan lautnya, melimpah.

Pulau ini memiliki karakter. Di pesisir utara. tertancap ribuan mungkin lebih, bebatuan granit. Yang menjadi ciri khasnya. Mungkin ada di daerah lain. Seperti di Natuna. Tapi di Belitung ini, batunya besar-besar. Sebesar rumah, gedung, bahkan pulau (kata warga lokal).

Saat saya ke sana, ratusan wisatawan bersiap menyeberang ke Pulau Lengkuas. Ingin melihat mercusuar di sana. Dari Tanjung Kelayang, 200an kapal kayu tradisional siap mengantar anda. Pemerintah daerah mulai membenahi angkutan rakyat itu. Memperhatikan sarana pendukungnya. Keselamatannya. Wilayah Tanjung Kelayang terus diperbaiki. Semua demi pariwisata.

Bergeser agak ke timur. Melewati lahan luas milik anak mantan penguasa negeri. Ada kawasan Tanjung Tinggi yang dulu dijadikan lokasi syuting film Laskar Pelangi. Kawasan pantai berhias batu-batu granit berukuran besar. Begitu indah dan tenang. Sayang saya tak mencoba mandi di pantainya. Setelah puas, anda bisa beristirahat di warung tenda menikmati kelapa muda.

Masih banyak yang perlu didatangi. Namun waktu saya terbatas. Jadi hanya mampir ke Tanjung Pendam. Membeli oleh-oleh di Klapa, memesan ketam isi Adena, lalu salat di Masjid Al Ihram peninggalan zaman jayanya PT Timah. Masjid itu terletak di seberang Rumah Tuan Kuase yang dulu digunakan orang Belanda ketika menduduki Belitung.

Selasa, 06 Agustus 2019

Nah Angkutan Umum Kita Sudah Seperti di Negara Maju

Saya bergegas menuju stasiun seakan itu adalah kereta terakhir, tapi bukan karena itu, seperti pulang kantor Jumat kemarin, saya sekali lagi ingin membuktikan tepatnya jadwal kereta seperti di aplikasi smartphone saya. Saya memilih naik ojek dari rumah tadi dan saya minta agak ngebut, 'saya buru-buru' alasan saya, jalanan masih sepi pagi itu. Sampai di stasiun ternyata benar, papan informasi menunjukkan waktu yang pas ketika KRL itu masuk di jalur 2. Kartu multritrip saya tap-kan dan gate langsung terbuka, untunglah pikir saya setelah sistem gate diganti dari tripod ke pintu lipat, lebih gampang untuk melewatinya bersama koper saya, takkan lagi tersangkut koper saya di tripod itu. 

Mata saya lalu tertuju ke layar elektronik penunjuk jadwal kereta, layar di Stasiun Cilebut itu sudah 5 bulan terpasang, layar itu mengingatkan saya dengan layar informasi ketika menaiki Underground di London, S-Bahn di Hamburg dan Metro di Paris dan Brussel, semua ada waktu kedatangan dan tujuan kereta. Baguslah!. KRL ke Jakarta berhenti hanya sebentar dan saya segera naik.

Saya naik KRL di pagi sabtu yang sepi menuju Manggarai. Hanya beberapa penumpang naik dan turun selama perjalanan, sementara saya sibuk mengisi ulang kartu multitrip saya lewat smartphone agar saldonya cukup dan dapat digunakan untuk kereta ke Bandung. 
Liburan ke Bandung kali ini telah lama saya rencanakan. Seperti tahun-tahun sebelumnya saya akan mengunjungi Ciater dan berendam di kolam air panas, sungguh menyenangkan.

Kereta tiba di stasiun Manggarai pukul 7 dan saya langsung menuju peron 12 disitulah KRL tujuan Halim sementara di sisi sebelahnya di peron 13 itu ada kereta ke Bandara Soetta. Stasiun ini sudah berubah drastis dan menjadi stasiun transit kereta terbesar di Jakarta. Tampak beberapa penumpang tergesa-gesa berlari kecil dengan kopernya menuruni tangga eskalator. Kondisi sekarang sudah jauh berbeda apalagi sejak Gambir tidak lagi dijadikan pemberhentian untuk kereta jarak jauh, semua kereta ke Jawa Tengah atau Timur berhenti disini. 

Di papan informasi peron 12 saya lihat kereta yang ke Halim akan datang 10 menit lagi, pagi itu cukup banyak penumpang yang sama seperti saya membawa koper. Entah mereka juga mau ke Bandung atau akan naik pesawat dari Halim. Pukul 07.18 KRL berangkat menuju Halim semua bangku terisi penuh dan saya memilih berdiri karena perjalanan ke Halim hanya sebentar. Sesampainya di Stasiun Halim saya harus berpindah ke peron atas disitulah tempat naik penumpang kereta cepat Jakarta - Bandung. Dari Peron 2 saya harus keluar melewati gate lalu naik ke peron atas. Di peron atas juga terdapat gate untuk pengguna kartu multitrip jadi tanpa memerlukan tiket kertas, sebenarnya tiket kertas sedikit lebih murah dibanding tiket elektronik namun elektronik menawarkan kemudahan akses yang dapat digunakan untuk semua kereta apakah KRL, kereta jarak jauh atau kereta cepat. 

Tidak ada nomor tempat duduk di kereta cepat ini jadi siapa cepat dia dapat. Namun jangan khawatir klo masih pagi begini penumpang tidak terlalu banyak, lagi pula di jam sibuk kereta berangkat tiap setengah jam ke Bandung. Saya memilih duduk di gerbong tengah lokasi favorit saya. Baterai smartphone saya hampir sekarat saatnya di-charge agar siap digunakan di Bandung nanti. Kereta cepat ini sangat bagus meskipun buatan China, terdapat wi-fi dan colokan listrik di setiap bangku penumpang.

Kereta berhenti di 2 stasiun sebelum tujuan akhir di Tegalluar Bandung, pertama berhenti di Karawang dan kedua berhenti di Walini. Perjalanan ke Bandung dengan kereta cepat ini tidak sampai 50 menit. Dari Stasiun Tegalluar saya harus melanjutkan perjalanan ke Lembang, pertama saya naik LRT menuju Setiabudi lalu saya ingin mencoba kereta gantung yang berhenti di pasar Lembang. Dari situ saya ingin mampir sebentar di Tangkuban Perahu sebelum ke Ciater. 

Stasiun LRT di bandung di buat sederhana seperti halte tram di negara-negara Eropa lengkap dengan peta dan jadwal LRT. Tiketnya cukup murah hanya 10rb tapi saya cukup menggunakan E-Money lebih simpel, tinggal tap saja di mesin yg ada di dalam kereta.

Di Bandung naik LRT dan bus, lalu ke Lembang naik kereta gantung dan di Lembang juga ada bus.

Tunggu dulu. Semua cerita di atas hanya hayalan saya di tahun 2017. Tak perlu terlalu serius. Mudah-mudah angkutan umum kita bisa seperti itu.

Selasa, 02 Juli 2019

Iktikaf Semalam di Masjid Istiqlal



Saya mau merasakan iktikaf di Istiqlal. Malam ke 23 Ramadan. Pulang pukul 17.00 WIB, dari kantor di kawasan monas saya jalan kaki ke Istiqlal. Di kantor tadi saya sudah berganti kaos lengan panjang. Suasana halaman masjid terbesar di Asia Tenggara itu belum terlalu ramai. Para pedagang baru membuka lapak. Saya mampir membeli camilan dan air minum untuk buka puasa. Harganya sih di atas rata-rata. Jadi lain kali mending beli di luar. Sepatu saya masukkan ke kantung plastik yang saya bawa. Di depan pintu banyak penjual kantung plastik. Saya pergi berwudu untuk salat sunah. Menjelang berbuka ada tausiah. Saya lebih memilih membaca Alquran di ponsel. Panitia Ramadan mengumumkan ada nasi kotak untuk buka puasa sekitar 3000-4000. Itu sumbangan dari orang.

Azan Magrib berkumandang. Saya tidak ikut buka puasa bersama di pelataran masjid karena tahun sebelumnya sudah pernah ikut. Setelah buka puasa lalu dilanjutkan dengan Salat Magrib. Ada sekitar 10 saf waktu itu. Saya lihat banyak rombongan jamaah dari jauh dengan tas ukuran besar iktikaf. Mungkin mereka mengjar malam Lailatul Qadr di malam ganjil. Setelah salat saya ke seberang Stasiun Juanda untuk makan malam di warung padang. Nasinya lumayan keras. Setelah makan saya kembali ke masjid untuk persiapan Salat Isya. Jamaah yang hadir sedikit lebih banyak dari saat Magrib. Setelah Salat Isya dilanjutkan tausiah lalu Salat Tarawih. Tarawihnya dua trip. Pertama untuk 11 rakaat. Selesai itu 23 rakaat. Trip kedua itu jamaahnya hanya 3 saf. Sbeagian jamaah memilih membaca Alquran sementara sebagian lainnya tidur-tiduran.

Selesai Salat Tarawih panitia mengadakan kegiatan belajar membaca Alquran. Tak lebih dari 50 orang yang ikut. Saya kembali melanjutkan membaca Alquran hingga pukul 22.00 WIB. Setelah itu saya mencari tempat yang agak hangat di tengah-tengah masjid untuk istirahat tidur sejenak. Di pinggir masjid terlalu dingin, angin dari luar cukup kencang. Setelah berupaya memejamkan mata selama 2 jam, sekitar tengah malam, panitia membangunkan para jamaah yang beristirahat di bagian tengah masjid. Waktu itu persiapan Salat Qiyamullail. Saya berwudu lagi. Sebelum salat ada tausiah dari Ustaz Nazaruddin Umar. Jamaah salat bertambah dua kali lipat, mungkin lebih 2000 orang. Panitia kembali mengingatkan hanya tersedia 1500 nasi kotak untuk makan sahur. Panitia juga menyampaikan hasil tromol sumbangan jamaah malam kemarin sebesar Rp18juta. Sekitar pukul 02.30 WIB salat dimulai. Saat rakaat ke delapan saya mengundurkan diri dari barisan lalu pergi ke warung padang seberang Stasiun Juanda untuk sahur. Saya kurang tahu berapa rakaat salat Qiyamullail itu. Di pelataran masjid tampak para jamaah makan sahur. Banyak pedagang kaki lima. Ada juga yang sama seperti saya, sahur di warung padang. Sekitar pukul 03.30 WIB setelah sahur saya kembali ke masjid lalu bersih-bersih di tempat wudu.

Sekitar pukul 04.30 WIB, Salat Subuh dimulai. Setelah Salat Subuh mata saya terasa perih karena tidak tidur. Saya memilih untuk tidur sebentar di pelataran masjid bersama jamaah lainnya. Pukul 06.30 WIB, saya berangkat ke kantor. Begitulah pengalaman iktikaf semalam di Istiqlal. Semoga Allah mengizinkan kita semua bertemu Ramadan tahun depan. Dan iktikaf di 10 malam terakhir. Lagi. Aamiin.

Pertama Kali Mudik Dengan ANT

Kendaraan: All New Terios (ANT)
Asal: Bogor
Tujuan: Bengkulu
Jarak: 800km via lintas barat menyusuri pesisir Lampung
Penumpang: 4 dewasa dan 3 anak

Ini adalah pengalaman mudik pertama dengan kendaraan pribadi. Sudah 3 tahun tidak pulang ke Bengkulu. Tahun ini sudah rindu sangat. Kami berangkat sehabis Isya sekitar pukul 20.00 WIB dengan bahan bakar pertalite penuh di tangki. Ruang kaki penumpang tengah dan belakang penuh dengan barang. Di atasnya dialasi bed cover dan dijadikan tempat tidur. Bagasi belakang berisi koper besar dan kardus oleh-oleh. Dari Bogor hingga Merak lewat jalan tol. Karena saya masih belum berani dengan mobil baru ini, saya memacu ANT tidak lebih dari 120km/jam. Selama di tol saya lihat konsumsi BBM bisa mencapai 18 km/l

Tiba di Merak pukul 00.00 WIB, kami langsung mengantre di pelabuhan eksekutif. Sayang, kartu BCA Flazz yang sudah saya isi tak berguna. Kartu itu belum masuk dalam sistem pembayaran tiket ASDP. Terpaksa tunai Rp579ribu. Kapal feri di dermaga eksekutif ada setiap jam. Kami harus menunggu hingga 2 jam baru naik ke kapal Port Link karena panjangnya antrian mobil. Kapalnya besar. Ruang penumpangnya nyaman. Penumpang penuh hingga lesehan di lantai. Maklum lagi mudik.

Setelah berlayar selama 1,5 jam, sekitar pukul 03.30 WIB, mobil turun dari kapal dan langsung masuk ke tol Bakauheni. Sempat antre 500 m di gerbang tol, mobil berhenti sebentar di pinggir tol. Adek saya yang ganti menyetir ngantuk tak tertahan. Sejak di kapal saya sudah berusaha untuk tidur tapi tidak bisa. Saya putuskan untuk mengemudi lagi. Mobil keluar tol di Bandar Lampung. Lalu mampir shalat Subuh di Masjid Ad-Dua. Pukul 06.00 WIB, kami meneruskan perjalanan melewati Pesawaran lalu terus ke Kota Agung. Kami hanya berhenti tiga kali untuk jajan, buang air, dan mengisi BBM hingga penuh.

Pukul 09.00 WIB, kami mulai masuk ke wilayah Bengkunat membelah Bukit Barisan Selatan, Mulai tanjakan curam dan turunan tajam. Jalanannya lumayan bagus. Sebelum masuk Krui, kami berhenti di pinggir pantai di daerah Ngaras untuk makan siang. Sekitar satu jam kami istirahat. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan melewati Krui menyusuri pantai barat Lampung. Pukul 14.30 WIB, kami sudah masuk ke wilayah Bengkulu dan sempat mengisi BBM hingga penuh. Saya sempat merasakan pandangan depan pengemudi terhalang pilar kanan ketika berbelok di tikungan kanan. Saya coba menyesuaikan, namun tetap sulit. Saya harus memajukan kepala atau mendekatkan ke jendela untuk bisa melihat kendaraan lain dari depan di tikungan.

Beberapa titik jalan di Bengkulu rusak. Saat tiba di Manna sudah malam hari. Kondisi hujan deras memaksa kami harus berhati-hati. Beberapa kali ban mobil masuk ke lubang. Lampu LED utama tak sanggup menembus derasnya hujan. Lampu kabut juga tidak banyak membantu. Kaca film Clear KcF1 depan menyulitkan pandangan malam jika ada sinar lampu kendaraan lain dari depan. Sinar lampu langsung mengaburkan pandangan.

Menjelang masuk Kota Bengkulu hujan reda. Karena suhu udara luar lebih dingin, kaca depan sering berembun. Saya set temperatur AC di 28 *C dengan putaran blower satu agar tak kedinginan. Kami tiba di rumah orang tua pukul 21.00 WIB. Total ODO di MID saya lihat 843 km. Konsumsi rata-rata 13,5 km/l. Ketika mengisi BBM hingga penuh lagi, saya telah menghabiskan Rp530rb.

Jumat, 28 Juni 2019

Safety Pin CO2 Sistem Pemadam Api Tetap di Kapal


Sudah dua kali saya temukan kasus serupa. CO2 sistem kapal gagal beroperasi. Gasnya ada. Mekanismenya bagus. Sertifikat menyatakan baik. Namun ketika diaktivasi gasnya tidak keluar. Setelah diperiksa ternyata pen keselamatan (safety pin) nya masih terpasang. Dari kedua kasus tersebut, baik awak kapal, pemilik kapal, maupun otoritas terkait tidak mengerti bahwa pen tersebut harus dilepas agar mekanisme katup dapat bekerja. Seperti apa seharusnya?.

Mungkin hampir setiap kapal memiliki sistem pemadam api tetap hidran dan CO2. Hidran hampir menjangkau seluruh kapal. Sementara CO2 dipasang untuk kamar mesin, ruang pompa, ruang khusus, dan/atau ruang muatan. Botol-botol CO2 tertata di sebuah ruangan tersendiri. Jumlahnya mulai belasan hingga ratusan botol tergantung luas ruangan yang dilindungi. Kontrol aktivasinya disediakan di dua lokasi. Pertama di luar dekat ruangan yang dilindungi. Kedua terletak di dalam ruangan CO2. Ketika panel aktivasi dibuka, alarm akan menyala. Bunyi alarmnya berbeda dengan alarm kapal. Fungsinya untuk memperingatkan orang bahwa CO2 akan dilepas dan orang harus segera meninggalkan ruangan tersebut. Seketika itu pula sistem bahan bakar dan ventilasi mati (trip).

Dari banyak sistem yang saya temukan, di dalam panel aktivasi terdapat pilot silinder berisi gas CO2 yang berfungsi membuka katup-katup di botol-botol CO2. Beberapa mekanisme katup CO2 yang sering dijumpai adalah mekanisme menggunakan linkage (penghubung) untuk menahan katup, aktuator untuk mendorong linkage dan sebuah pen keselamatan yang berfungsi menahan linkage. Pen keselamatan pada dasarnya berfungsi untuk mencegah katup terbuka secara tidak sengaja pada waktu pemindahan botol dari darat ke kapal atau sebaliknya. Pen juga digunakan ketika sedang melakukan perawatan di sistem CO2. Ketika kapal beroperasi, pen tersebut harus dilepas. Pen bisa saja dibiarkan dipasang di katup, namun pemilik dan awak kapal harus menyadari bahwa pen tersebut dilepas sesaat sebelum sistem CO2 diaktivasi. Hal ini mungkin dapat dilakukan di kapal-kapal yang hanya dilengkapi kurang dari 10 botol CO2.

Mekanisme katup terbuka
Jadi, bila kapal anda memiliki sistem CO2 pemadam api tetap dengan mekanisme katup menggunakan pen keselamatan, baiknya anda pastikan bahwa pen-pen di katup botol CO2 telah dilepas, ya.

Senin, 24 Juni 2019

Rumput Menghias Waingapu


Setelah ke Alor dan Merauke, kini saya ke bagian timur yang lebih ke selatan lagi. Ke Pulau Sumba. Ke Waingapu. Naik Wings ATR 72-600 dari Denpasar. Tiba di Bandara Umbu Mehang Kunda saya langsung disambut Pak Anis. Ia asli Larantuka. Keluarga dan rumahnya di Banyuwangi. Ditugaskan ke Waingapu baru tiga hari. Dari bandara kami  langsung ke pelabuhan melewati arena pacuan kuda seluas stadion sepak bola. Itulah hiburan di daerah ini. Acara pacuan setahun sekali sekitar bulan Agustus. Akan menampilkan penunggang kuda tanpa pelana. Yang latihannya di dekat pantai. Di antara rimbunnya pohon bakau.
Bukit di Waingapu
Mendekati kawasan pelabuhan ada Balai Karantina yang lahannya sangat luas. Di tengah-tengahnya ada kandang besar. Banyak kuda di dalamnya. Memang Waingapu merupakan salah satu penghasil ternak. Ada sapi, kuda, dan kambing. Dikirim ke Jawa dan Sulawesi. Jika anda ke pelosok perkampungan akan terlihat kuda di mana-mana. Hampir dijumpai di rumah-rumah. Juga babi. Berkeliaran seenaknya.

Kuda-kuda berkeliaran di pinggir jalan
Cuaca sangat cerah siang itu karena ini sudah masuk musim panas. Musim penghujan telah lewat. Air adalah salah satu masalah di Waingapu. Meski tak separah seperti di Alor, yang sungainya tak berair, beberapa kampung di Waingapu sering sulit mendapatkan air. Air sungai di Waingapu saya lihat masih mengalir jernih. Saya lihat tanahnya tak sekeras Alor. Tanaman mulai nampak menguning. Hanya pohon mangga yang mulai berbunga. Saya dengar mangga Waingapu rasanya beda. Kami melewati kampung Kamalaputi yang jual makan 24 jam. Khas menjual nasi kuning.

Dari kejauhan nampak bukit-bukit yang indah berwarna hijau kekuningan warna khas memasuki musim kemarau. Nanti di musim penghujan bukit-bukit itu berwarna hijau. Sekitar Desember. Di bagian tengah dan selatan Pulau Sumba ada wisata air terjun yang indah dan jernih. Dari udara akan terlihat, belahan selatan Pulau Sumba lebih hijau dibanding bagian utaranya. Sayang saya tak sempat ke sana. Saya hanya ke Bukit Warinding. Sekitar setengah jam dari kota. Saya minta tolong hotel untuk memanggilkan mobil sewa. Tak ada angkutan umum di Waingapu. Hanya ada bus ke Sumba Timur dan Barat. Di Bukit Warinding kami harus mengisi buku tamu dan memberi uang alakadarnya ke warga. Di bukit itu hanya tumbuh rumput. Sejauh mata memandang. Kami bertemu bocah penunggang kuda tanpa pelana. Ia baru kelas 4 sekolah dasar. Di dekatnya ada wisatawan Cina sedang mengambil foto acara pernikahan berlatar Bukit Warinding. Dari situ kami ke Bukit Seribu. Melewati persawahan memandang ke lembah. Menikmati senja. Padi dari sawah-sawah itu hanya cukup untuk konsumsi penduduk Sumba setengah tahun. Selebihnya harus mendatangkan dari luar daerah.

Bocah penunggang kuda tanpa pelana
Kami makan malam di warung tepi pelabuhan rakyat. Di sisi jalan masuk pelabuhan setiap malam banyak pedagang ikan menggelar dagangannya. Ada tuna, cumi, dan makarel dari laut yang masih segar. Di warung makan ikan bakar tepi pelabuhan, sambil menikmati hidangan ikan asam dan terong krispy, sedang ada pembongkaran batu kerikil dari tongkang ke pelabuhan. Yang didatangkan dari Bali. Material itu untuk proyek pabrik tebu di Sumba Timur. Kebunnya telah lebih dulu ada (baca: Kebun di Bumi Yang Belum Jadi). Dahlan Iskan sudah ke sana dan menuliskannya. Tentang betapa beratnya membuat kebun tebu di daerah gersang Sumba Timur. Anda bisa bayangkan ada kebun tebu seluas 6000 ha di tanah kering. Tanah Sumba itu adalah dasar laut yang naik ke atas. Petani di kebun tebu sering menjumpai kulit kerang.

Di warung ikan bakar itu kami menghabiskan malam membicarakan tentang kapal perintis. Di pelabuhan seberang, dua kapal perintis sedang sandar. Kapal-kapal itu dioperasikan perusahaan swasta. Karut marut pengelolaan proyek pemerintah demi alasan masyarakat. Kadang tak sampai ratusan penumpangnya. Disubsisdi miliaran rupiah. Kami juga membicarakan tentang kapal kayu proyek pemerintah. Ratusan miliar harganya. Terbengkalai begitu saja. Ada pula kisah kapal milik kementerian lain yang diserahkan ke pemerintah daerah tanpa satupun surat-surat kapalnya. Kapal itu akhirnya tenggelam bersama misterinya.
Pedagang ikan di pelabuhan
Senja di Bukit Seribu
Dari supir mobil rental saya mendengar kisah. Pencuri di Sumba Barat. Mungkin lebih cocok disebut perampok. Sang pencuri, dengan lantang di depan rumah seorang warga berteriak "Permisi mau ambil motor!" Yang punya motor tidak berani keluar. Merelakan motornya dibawa begitu saja. Mereka takut. Nanti jika warga sudah marah. Perampok itu langsung dihakimi sampai mati. Memang hukum adat di Sumba begitu. Tak banyak waktu di Sumba. Ingin saya ke Tanarara melihat para penari langit. Ingin ke Waimarang dan berendam di jernihnya air perbukitan. Ingin mendengar kisah tentang Nihi Sumba, hotel termahal itu. Aaaahhhh...saya meringkuk kedinginan tertiup hembusan angin bulan Juni. Tapi kali ini cukuplah menghabiskan senja di bukit-bukit Waingapu. Berhias rumput setengah kering.



Senin, 10 Juni 2019

Merauke: Izakod Bekai Izakod Kai



Ini pertama dalam sejarah. Ke tanah Papua. Merauke pula. Ujung timurnya Indonesia. Di titik Nol. Di Perbatasan Papua Nugini. Dari Jakarta kami harus transit di Makassar. Naik maskapai temannya singa. Yang berangkatnya dini hari. Ada Garuda tapi harus transit dua kali. Terlalu lama. Kami tiba masih pagi. Hari Minggu. Di bandara kami disambut bangunan baru Bandara Mopah. Sudah jadi beberapa bulan lalu. Tapi belum dioperasikan karena masih ada urusan pembayaran lahan adat. Yang (lagi) belum selesai. Yang sebelumnya sudah dibayar. Suasana Merauke di Minggu pagi masih lengang. Pengendara motor bebas di jalanan, menerobos lampu merah dan tak pakai helm.

Saya baru tahu ternyata di Merauke banyak sawah. Petaninya para transmigran dari Jawa. Daerah ini merupakan dataran rendah. Tanahnya subur. Air pun melimpah. Kata yang jemput kami, meski banyak pendatang di Merauke, ada juga petani asli Papua. Kebanyakan penduduk asli menjual hasil hutan seperti pinang dan sayur-sayuran. Sementara para pedagang dan pengusaha merupakan para pendatang. Banyak dari Sulawesi. Saya berjumpa teman sewaktu diklat. Dia sudah 11 tahun bertugas di Merauke dan minggu depan akan pindah ke Raha. Sudah lama mengajukan pindah. Tidak tahan lagi. Berat katanya. Mungkin juga sudah rindu keluarganya di sana.

Kami ke Pelabuhan Kelapa Lima milik pemda Merauke. Di sini tempat pengisian BBM ke kapal-kapal kayu tradisional. Yang akan dibawa ke pedalaman Papua. Ke wilayah Agats, Mappi, Okaba, Digul dan sekitarnya. Yang untuk mengantarkan barang ke sana hanya bisa dilalui oleh kapal-kapal ukuran kecil. BBM itu dimuat ke dalam drum-drum plastik dengan pompa portabel dari truk tangki BBM. Pengisian hanya dilakukan siang hari. Sebenarnya penuh risiko. Sudah lebih dari 4 kali kejadian kebakaran di kapal-kapal seperti itu. Ada korban jiwa pula. Tapi tetap saja cara itu dipertahankan. Tidak ada pilihan lain. Sebab kalau tidak, orang orang di pedalaman sudah teriak. Listrik mereka dihasilkan oleh BBM dari Merauke. Drum-drum plastik yang telah diisi BBM mereka siram dengan air agar tidak mudah tersulut. Sepanjang pelayaran mereka lakukan itu. Selama belasan hari. Masuk ke sungai-sungai di pedalaman. Lalu kembali lagi ke Merauke. Bisa saja mengisinya malam hari. Agar panas matahari tidak terlalu terik. Yang membuat BBM jenis premium mudah tersulut. Tapi kawasan Kelapa Lima tidak aman. Banyak orang mabuk.

Dermaga Kelapa Lima
Di dekat saluran air di jembatan pintu air saya lihat banyak orang mengumpulkan batu. Sisa proyek dinding saluran. Mereka kumpulkan dalam karung-karung. Batu susah di Merauke. Harus didatangkan dari luar daerah. Saking sukarnya mencari batu, buat lempar anjing saja susah. Dulu di Merauke banyak rusa. Jadi ikon terkenal karena banyak dan mudah dijumpai. Bahkan di belakang rumah. Tapi kini meski harus mencari hingga ke hutan. Karena sering diburu. Kalau mau gampang tinggal ke kebun binatang di tengah kota. Di Merauke ada Museum Kapsul Waktu atau disebut markas Avengers karena dilihat dari atas bentuknya mirip hurup A. Di dalamnya tersimpan mimpi anak-anak Indonesia. Kelak mimpi dalam kapsul itu akan dibuka. Tapi sayang tempat itu tidak untuk umum. Di beberapa gapura akan anda jumpai tulisan Izakod Bekai Izakod Kai yang artinya satu hati satu tujuan. Kalimat yang menjaga persatuan Merauke ditengah beragam suku. Kota ini termasuk tentram. Salah satu alasannya, daerah ini makmur.

Tugu Perbatasan Merauke-Papua Nugini
Rumah semut
Kami sempat ke perbatasan itu. Ke titik 0 km. Hanya 1 jam naik mobil. Karena jalanannya sudah mulus. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada pos pemeriksaan yang dijaga TNI. Supir kami harus melapor dan menyerahkan KTP-nya. Di perbatasan sana juga ada dua kios menjual cenderamata dan tugu 0 km yang dibangun oleh komunitas otomotif. Pas di sana, nampak sedang ada proyek penataan kawasan perbatasan. Tanda Perbatasan Indonesia Papua Nugini itu hanya sebuah tugu kecil lengkap dengan titik koordinatnya. Sepanjang perjalanan banyak kami lihat rumah semut setinggi lebih 1 meter di kanan dan kiri jalan.

Restoran Pinang Sirih
Kebetulan saat itu bulan ramadan. Kami ditraktir makan sup bibir ikan di restoran Pinang Sirih. Restorannya cukup besar. Lahan parkirnya luas. Sup bibir ikan di restoran ini rasanya sangat enak sekali. Bentuknya seperti sup asparagus. Kuahnya kental. Isinya daging ikan, kepiting dan jamur. Anda harus mampir ke restoran ini. Mencoba menu itu. Saya pulang ke Jakarta membawa oleh-oleh dendeng dan abon rusa serta dompet kulit buaya. Dan terngiang-ngiang rasa. Ternyata sate rusa itu enak. Cobalah. Di restoran tadi.

Rabu, 29 Mei 2019

Ternyata Selayar Itu...




Kali ini saya ke Selayar. Sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan. Selayar merupakan Pulau memanjang di selatan Sulawesi yang berada di antara Laut Jawa dan Laut Flores. Dari Makassar saya menggunakan jalan darat lalu terus ke Bira untuk naik feri. Meski ada penerbangan dari Makassar ke Selayar, jalan darat lebih menarik. Waktu tempuh jalan darat ke Pelabuhan Bira di Bulukumba sekitar 4,5 jam. Dari Makassar mobil berangkat subuh melewati pesisir selatan mulai dari Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan terakhir Bulukumba.

Di Jeneponto saya melihat belasan kincir angin pembangkit listrik berputar-putar seperti di luar negeri. Di Bantaeng saya melihat kota sederhana yang tertata dengan baik. Nurdin Abdullah Bupati sebelumnya. Sekarang naik pangkat jadi Gubernur Sulsel. Mobil tiba sekitar pukul 09.00 WITA. Kapal feri ro-ro Balibo telah siap pagi itu. Ratusan penumpang, belasan sepeda motor, dan beberapa mobil serta truk dan bus siap naik ke kapal pagi itu. Suasana ramai. Mobil pengantar penumpang berhenti hingga depan kapal. Menurunkan penumpang dan barang bawaan. Mobil itu lalu parkir di tepi dermaga. Menunggu penumpang dari Selayar. Para penumpang kapal pagi itu datang dari pelosok Sulawesi.

Kapal kami meninggalkan Pelabuhan Bira. Melaju dengan kecepatan 8 knot. Dari kejauhan nampak dinding karang tepi Pulau Selayar. Suasana laut pagi itu tenang, cuaca pun cerah. Dua jam pelayaran, kapal tiba di Selayar. Di Pelabuhan Pamatata. Dari pelabuhan ke pusat kota Selayar di Benteng sekitar satu jam. Sejak dari pelabuhan saya melihat tanah karang. Kepulauan ini terbentuk dari pertemuan gunung muda. Karang-karang yang lapuk menjadi tanah yang subur. Karang-karang keras seukuran kepala disusun memanjang setinggi 1 meter. Ditumpuk begitu saja menjadi pagar-pagar penanda lahan. Sepanjang perjalanan di kanan dan kiri dipenuhi pohon kelapa. Kebun kelapa yang tingginya hingga belasan meter. Menjulang menggapai sinar surya. Puas melihatnya. Selayar salah satu daerah penghasil kopra. Kelapa-kelapa dari Selayar diangkut dengan truk menyeberang ke Sulawesi.

Karena pulau ini berada di antara dua laut, maka tak heran di sepanjang pantai dipenuhi sampah plastik. Ribuan mungkin jutaan gelas dan sampah plastik. Terbawa angin barat dan timur. Terdampar di Selayar. Seolah pulau penampung sampah di laut. Tak ada yang memunguti plastik-plastik itu. Mobil pengantar berhenti di Hotel Raihan. Yang sederhana dan bagus. Sepanjang perjalanan tadi saya kehilangan sinyal ponsel. Kalau pun ada hanya jaringan GPRS. Saya diajak ke Pantai Sunari untuk berbuka puasa disana. Sunari Beach merupakan resort kecil yang dimiliki oleh Pak Eka. Dia asli Bali yang merantau dan menikah dengan wanita Selayar. Lalu membuka resort di tepi pantai barat Selayar. Bagus untuk melihat sunset. Saya melihat 3 cottage sederhana di tepi pantai. Malam itu saya disuguhi ikan bakar. Rasanya manis sekali. Segar. Dihidangkan pula segelas kelapa muda Selayar yang manis. Ditemani asamnya cerita politik di Kabupaten Selayar. Siapa sanggup jual pasti dibeli.

Cottage di Sunari Beach
Ada juga orang Selayar yang mencoba membuka resort di tepi pantai seperti punya Pak Eka. Namun kebanyakan mati suri tak terurus. Mata pencarian masyarakat Selayar nelayan dan petani. Kelapa, coklat, dan vanili banyak ditanam.

Setelah kembali ke hotel dan membersihkan diri. Saya diajak menikmati saraba di tepi pantai Benteng. Saraba merupakan minuman jahe khas Sulawesi. Seperti bajigur atau bandrex. Ditemani goreng pisang dan ubi dengan sambal. Sungguh nikmat.

Selasa, 07 Mei 2019

Sekadau


Sekadau itu lima jam dari Pontianak, tapi jalanannya bagus!. Itu informasi awal yang kami terima. Kami harus ke sana. Ke Kabupaten Sekadau. Ada tugas baru. Kami pilih penerbangan pagi. Tiba di Pontianak kami sudah dijemput. Mobil penumpang penuh barang waktu itu. Sampai-sampai per-nya mentok. Setelah mampir makan siang, perjalanan ke Sekadau kami mulai. Saya berusaha memejamkan mata. Sudah ngantuk karena di pesawat tadi tidak tidur. Sempat khawatir masalah transportasi ke Sekadau

Perjalanan 5-6 jam ke Sekadau sudah bisa saya bayangkan. Belum lama saya ke Bontang dari Balikpapan. Waktu tempuhnya hampir sama. Cuma kali ini lebih banyak jalan datar. Setelah keluar dari Pontianak, saya mencoba memperhatikan sepanjang jalan. Sepi, perkampungan juga jarang. Hanya ada rumah warga yang dibangun saling berjauhan. Tidak ada listrik. Sepanjang jalan beberapa kali berpapasan dengan truk pengangkut sawit. Memang daerah Kalimantan Barat ini penghasil sawit dan karet. Tampak sebuah bukit diratakan untuk diambil tanahnya guna menimbun dataran rendah di pinggir jalan. Memang di sisi sepanjang jalan hanya dataran rendah, mungkin gambut. Supir kami mengatakan, jalanan yang kami lewati ini baru diperbaiki. Kualitasnya lumayan. Rata-rata mobil melaju di kecepatan 90 km/jam. Telepon seluler saya simpan, sinyal di sepanjang jalan hilang.

Sore hari kami berhenti sejenak di simpang Sanggau. Saat itu turun hujan. Kami melanjutkan perjalanan yang masih separuh lagi meski hujan masih deras sebab kalau tidak kami akan kemalaman di jalan. Sepanjang perjalanan sisa itu saya mencoba untuk memejamkan mata. Sekitar pukul 19.30 WIB kami tiba di Sekadau. Kami mampir shalat. Selesai shalat kami putuskan menuju lokasi tugas. Masih sekitar setengah jam lagi dari Sekadau. Setelah sempat tersesat karena kehilangan petunjuk arah, kami sampai di Sungai Asam. Setelah berdiskusi sejenak kami putuskan untuk kembali besok pagi.

Kelotok pengangkut penumpang

Kelotok di Sungai Asam
Esok hari kami kembali ke Sungai Asam. Di sana ada penyeberangan Sungai Asam - Sunyat di Sungai Kapuas. Sungai Asam dan Sunyat adalah nama daerah di pinggiran Sungai Kapuas. Di Sunyat itu ada tiga kecamatan yang jika kendaraan akan ke Sekadau harus memutar jauh menerobos kebun sawit. Lewat penyeberangan situ hanya 2 menit. Lebih cepat dan hemat. Dulu telah lama ada tongkang atau ponton besi yang dimiliki warga lokal sebagai sarana menyeberang. Ponton tanpa penggerak tersebut didorong menggunakan kelotok atau perahu. Sekali angkut bisa enam truk. tapi kini ponton tersebut tidak beroperasi lagi dan telah digantikan oleh kapal ro-ro. Ponton itu dinilai kurang aman. Untuk penyeberangan orang dan sepeda motor menggunakan kelotok kecil. Dua pelabuhan tersebut dibangun oleh pemerintah pusat namun kondisinya kurang terawat.

Sekadau merupakan sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang dibelah oleh Sungai Kapuas. Lintas Penyeberangan Sungai Asam-Sunyat merupakan andalan transportasi warga di sisi utara yang ingin ke pusat Sekadau atau ke Pontianak. Para pengusaha di Sekadau sangat terbantu dengan penyeberangan Sungai Asam-Sunyat. Banyak truk mengangkut buah sawit dan karet menggunakan penyeberangan itu. Tak mau mereka menghabiskan biaya memutari hutan sawit.




Sabtu, 09 Maret 2019

Jagung Titi dan Bulu Babi di Alor



Kami harus ke Alor ada tugas di sana. Ini adalah pengalaman kedua saya ke NTT setelah sebelumnya ke Kupang tahun 2013. Dari Kupang harus naik pesawat ATR 72 lagi ke Alor. Penerbangan sekitar 40 menit. Penumpangnya tak sampai 10 orang pagi itu. Ada juga kapal feri, tapi lama, butuh 12 jam ke Alor. Nama bandara Alor adalah Mali. Tiba di pintu keluar bandar kami sudah diburu supir taksi lokal. Tapi kami sudah janjian dengan Pak Mad. Pegawai Dinas Kelautan Provinsi NTT. Dia datang menjemput Kami.

Tujuan Kami kali ini adalah Desa Aimoli. Terletak di pesisir utara Pulau Alor. Sekitar 1 jam dari Kalabahi ibukota Kabupaten Alor. Tapi Kami mampir dulu ke hotel untuk menaruh barang. Tak banyak pilihan hotel di Kalabahi. Dari Google saya dapat hotel Pulo Alor. Di tengah perjalanan, Pak Mad menyarankan untuk menginap di tengah kota saja. Hotel Pulo Alor jauh dari kota dan susah cari tempat makan. Kami ikut saja. Lalu Kami diantarkan ke Hotel Melati di tepi Teluk Alor. Setelah menaruh tas kami langsung ke Desa Aimoli.

Kami berangkat bersama Syahbandar Kalabahi, di sepanjang perjalanan Kami diceritakan bahwa di Alor ada sawah, kebun vanili, cengkeh, jagung. Namun susah mencari buah-buahan di Alor. Jika pulang ke Alor, oleh-olehnya beli buah-buahan saja. Saat ini musim mangga sudah lewat sementara panen jagung masih lama. Di Alor sedang musim penghujan, saat yang tepat untuk menanam jagung. Sepanjang jalan, sekeliling rumah semua ditanami jagung. Hanya tanaman semacam jagung yang dapat tumbuh subur di tanah karang. Alor dan banyak daerah selatan timur tanahnya keras, terbuat dari karang, dasar lautan yang muncul ke permukaan, meskipun terlihat hijau di perbukitan Alor, pohon-pohonnya berukuran kecil, akarnya sulit menembus karang. Sementara di tepi pantai yang tanahnya agak berpasir banyak ditemui pohon-pohon besar seperti kenari dan sukun.

Tak ada sungai di Alor. Sumurnya hanya ada di daerah tepi pantai, meskipun dekat dengan laut, air sumurnya tidak asin. Saya baru tahu kalau di Alor terdapat 13 bahasa yang berbeda-beda. Bahkan kampung yang bersebelahanpun, yang jaraknya sama dengan Kampung Melayu - Jatinegara itu bahasanya berbeda. Untuk komunikasi di tempat umum mereka menggunakan bahasa Indonesia.

(Akan dilanjutkan nanti...



Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...