Sabtu, 30 April 2016

Volendam: Keheningan Desa Nelayan Di Utara Amsterdam


Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui, sekali jalan dua tiga tempat dikunjungi. Setelah perjalanan yang melelahkan dari Paris ke Amsterdam, pagi itu kami berencana menghabiskan sisa hari dengan mengunjungi desa nelayan di Utara Amsterdam, desa wisata Volendam, sebuah desa nelayan yang cukup terkenal. Kami tiba subuh di Amsterdam, itu memberi kami kesempatan untuk sarapan di kafe All Star steakhouse seberang stasiun Amsterdam Centraal, itu karena seorang lelaki tua memanggil-manggil setiap orang yang lewat agar mampir ke cafe itu, sambil menunjukkan menu yang ditawarkan, mungkin dia pemiliknya. Kami lihat ada menu halal, maka mampirlah kami. Setelah mengisi perut dengan menu telur ceplok, roti, dan kacang kami langsung menuju stasiun central, di situlah bus 316 tujuan Volendam-Edam berada, dari keterangan di google maps, perjalanan ke sana akan ditempuh selama lebih kurang 30 menit. Sesuai dengan jadwal, bus tersebut tiba di halte, tidak perlu menunggu lama, bus langsung melaju menuju Volendam lewat jalan S116 lalu masuk ke terowongan bawah air IJtunnel menyeberangi Buiten-IJ, saya baru sadar kalau jalan kami menyeberangi perairan lewat terowongan waktu perjalanan pulang, hebatlah negeri ini kalau yang berurusan dengan infrastruktur air.
Bus ke Volendam
Volendams Museum 
Disambut matahari terbit di tepi desa
Suasana pagi di desa Volendam
Aktivitas nelayan membongkar ikan
Kapal wisata
Sekitar 30 menit perjalanan bus sampai di Volendam, kami turun di halte Julianaweg atau Centrum lalu mulai menyusuri jalan Zeestraat menuju ke pinggir pelabuhan. Hari masih pagi, dan suhu udara masih dingin, beberapa toko baru saja buka, bangunan di desa ini sebagian tampak bangunan lama, sebagian lagi adalah rumah-rumah baru, ciri khas Volendam, kecil dan berdempet. Tiba di pinggir pelabuhan, kami disambut aktivitas nelayan yang sedang membongkar ikan hasil tangkapan mereka. Matahari baru saja terbit waktu itu, hembusan angin dingin memaksa saya mengenakan kembali sarung tangan yang tadi disimpan, puluhan burung camar terbang kesana kemari. Tampak dua kapal wisata juga bersender di pinggir dermaga.

Kolam pelabuhan bagi kapal-kapal nelayan
Salah satu studio foto dengan baju tradisional Belanda di Volendam
Mencoba fasilitas teropong di pinggir Markemeer
Di sisi jalan utama desa itu yang yang juga menjadi tanggul pelindung banjir bagi desa itu, beberapa toko souvenir sudah buka, toko itu juga menyediakan studio foto dengan pakaian khas belanda, banyak sekali foto-foto tokoh-tokoh dan artis Indonesia yang mereka pajang, puluhan bahkan ratusan, tak perlulah saya sebutkan satu persatu. Saya? tak tertarik ber-foto-foto seperti itu. Saya sempat mencoba menggunakan fasilitas teropong yang disediakan di pinggir Markermeer, dengan memasukkan uang koin 1 euro saya bisa melihat desa Marken di seberang sana.
Beberapa cafe di pinggir pelabuhan
Gereja Vincentius
Pelabuhan yatch di Marinahaven
Kami terus melanjutkan perjalanan mengelilingi desa kecil itu. Tampak di beberapa rumah dipasang iklan dijual, desa yang sepi, sebuah gereja tua Vincentiuskerk berada di antara rumah penduduk. Kami lalu menuju ke Marinapark dan melewati pelabuhan yatch Marinahaven, puluhan kapal layar bersandar di pelabuhan itu, sebuah kafe Marina Volendam juga berdiri di tengah pelabuhan itu. Sebenarnya di dekat situ juga ada pabrik sepatu khas belanda dan pabrik keju Alida Hoeve, namun itu masih terlalu pagi untuk mereka buka, kami lalu memutuskan mengakhiri perjalanan dan kembali ke Amsterdam.

Selasa, 26 April 2016

Ayolah kita berubah, meski hanya perubahan kecil bersama Putera Petir lainnya

The Sky Dancer (image source:fb r.e.)
Saya mengetahui kisahnya karena seorang Dahlan Iskan yang entah dari mana ia mengetahui 'putera petir' ini, nama itu, begitu Dahlan menyebutnya. Ambisi Dahlan untuk menginisiasi penciptaan mobil listrik karya anak negeri adalah alasan kenapa anak muda ini 'dipaksa' pulang  ke Indonesia, padahal di Jepang ia memiliki segalanya. Ia adalah seorang ahli motor listrik yang telah menciptakan berbagai penemuan terkait motor listrik dan telah dipatenkan di Jepang, hebatlah Ia pokoknya.

Di  Indonesia, negara yang saya sebut 'takkan berubah hingga kiamat', mimpi mengembangkan mobil listrik sepertinya harus disimpan sejenak, proyek itu seperti 'hidup tak mau, matipun tak diharap', banyak yang tidak mendukung proyek itu, saya pikir ini masalah yang kompleks, walau sebenarnya jalan keluarnya sangat mudah sekali, dan seorang Dahlan mungkin sudah tahu solusinya, namun sepertinya hanya sampai dipikirannya, tak terucap mungkin.

Pemuda itu sewaktu kembali ke Indonesia, ia membawa mimpi pribadinya, sebuah mimpi untuk mencipta dan mengembangkan apa yang ia sebut "The Sky Dancer", pembangkit listrik tenaga angin ukuran kecil, cocoklah untuk negerinya yang terkendala dengan yang besar dan mahal. Meski ia mengatakan terus mengembangkan temuannya itu, namun temuannya itu sudah terbukti berhasil menghadirkan senyuman ratusan bahkan ribuan rakyat negerinya di bagian Timur situ, wilayah yang berpuluh tahun tak pernah tersentuh listrik, sungguh mengenaskan memang, namun ia berhasil, meski ia mengelak bahwa itu usaha banyak orang, tak bisa dipungkiri itu adalah hasil karyanya, hebatlah Ia.

Pemuda itu dengan segala upaya yang ia lakukan, dengan keterbatasan yang dimilikinya, entah  mimpi besar apa yang Ia simpan, yang membuat ia tetap terus bertahan dan berjuang bersemangat, hingga rela berkotor-kotoran, menghidupi api mimpinya. Jutaan orang mengenal dirinya, mengetahui apa yang ia lakukan, tak memelas ia kepada negara.



(akan dilanjutkan nanti...)

Senin, 25 April 2016

Berlin-Hamburg: Dari Mengenang Runtuhnya Tembok Berlin Hingga Kota Pelabuhan


Horeee! Libur tlah tiba. Ini adalah liburan perdana keluar Belanda di akhir tahun 2015 setelah tiga bulan berkutat dengan belajar, belajar dan belajar. Setelah menimang kemanakah tujuan liburan perdana ini, antara Berlin, Brussel, atau Paris, akhirnya saya memilih Berlin, tentu saja tak lain karena saya menemukan tiket yang murah ha ha ha, 'Biasalah wak kami ni cumak mahasiswa, cari yang murah!'. Setelah menimbang-nimbang perbanding-an harga tiket bus, kereta atau pesawat, pilihan akhirnya jatuh ke Flixbus, tujuannya ke dua kota, Berlin dan Hamburg. Dengan Flixbus kami bisa berangkat langsung dari Groningen, tak perlu ke Amsterdam dulu. Saya atur keberangkatan dinihari dari Groningen agar bisa sampai paginya di Berlin lalu berkeliling sampai sore terus langsung ke Hamburg dan bermalam disana, begitulah rencananya.

Berangkat dini hari dengan Flixbus dengan warna hijaunya, bus itu dua tingkat, yang telah terparkir 15 menit di seberang stasiun Groningen sebelum jadwal berangkatnya, di dalamnya. Sebagian besar bangku dengan formasi dua-dua itu sudah terisi, rupanya penumpang bebas menentukan tempat duduknya masing-masing, siapa cepat dia dapat nyaman. Bus berangkat tepat waktu, khas negara maju. Saat memasuki perbatasan Jerman, bus harus berhenti untuk pemeriksaan, dua orang polisi Jerman naik ke atas bus dan memeriksa paspor dan ID penumpang. Mungkin level security Jerman dinaikkan saat itu sehingga ada pemeriksaan segala. Setelah pemeriksaan sekitar setengah jam itu bus lalu jalan kembali. 
Flixbus ke Berlin
Dari Groningen ke Berlin, jikalau tak salah, bus singgah di Odenburg dan Hamburg, beberapa penumpang ada yang turun dan ada juga yang naik. Sekitar pukul 6 pagi bus tiba di terminal bus Berlin Zoologischer Garten. Dari situ perjalanan kami di Berlin dimulai. Kami langsung berjalan ke Utara melewati taman Tiergarten lalu keluar di jalan Str des 17 Juni, hari masih gelap saat itu, keadaan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas saat kami tiba di Victory Column. 
Brandenburg gate di pagi hari
Reichstag Building
Kami sampai di tujuan pertama kami, Brandenburg Gate. Brandenburg gate atau Brandenburg Tor disebutnya dalam bahasa Jerman adalah bekas gerbang kota dan merupakan ikon utama kota ini yang dibangun pada tahun 1788, desain gerbang ini didasarkan pada gerbang masuk Acropolis, di Athena, Yunani, di atasnya terdapat Quadriga-kereta yang ditarik empat ekor kuda. Setelah berfoto di Brandenburg Gate itu lalu kami berjalan 200 meter ke sisi Utara melihat dari luar gedung Reichstag atau gedung parlemen kekaisaran Jerman bersidang. Saat tiba disitu belasan pengunjung sudah terlihat antri untuk masuk ke dalam gedung. Untuk masuk ke situ harus melewati pemeriksaan yang ketat. Beberapa petugas berseragam terlihat sibuk memeriksa pengunjung yang masuk.
Memorial korban Holocaust
Sisa tembok Berlin di kawasan Postdamer Platz
Kami meneruskan perjalanan ke selatan melalui jalan Ebertstraße 21 melewati monumen jutaan korban Holocaust di Eropa. Kami lalu berhenti sejenak di kawasan Postdamer Platz, di simpang situ masih tersisa beberapa bagian tembok Berlin, tembok itu yang mengelilingi Berlin Barat dan menjadi tembok pemisah dengan Berlin Timur. Itu dibangun pada tahun 1961 sepanjang 155 kilometer dan menjadi simbol perang dingin waktu itu. Dari peta yang ada, masih banyak rupanya sisa-sisa tembok yang mulai dirobohkan pada tahun 1989 itu dibiarkan berdiri, tersebar di kota Berlin, terutama di tempat-tempat yang tidak mengganggu, seperti di Postdamer Platz ini, masih berdiri kokoh, bahkan garis di tanah yang menandakan bekas tembok-nya pun dibiarkan terlihat.
Patung Freiherr vom Stein di depan gedung parlemen
Check point charlie
Papan peringatan melewati perbatasan "YOU ARE LEAVING THE AMERICAN SECTOR'
Kami lalu meneruskan perjalanan ke arah Timur melalui jalan Niederkirchnerstraße melewati Abgeordnetenhaus of Berlin-Gedung Parlemen-nya Berlin yang dibangun tahun 1892. Kami tiba di Check point Charlie saat beberapa toko baru saja dibuka pagi itu, dan saya langsung membeli beberapa souvenir di sana. Check point charlie merupakan pintu perbatasan paling terkenal antara Berlin Barat dan Timur. Dulu di masa perang dingin, tank-tank Amerika dan Soviet saling berhadap-hadapan di perbatasan ini. Ini menjadi pintu perlintasan utama untuk diplomat, jurnalis dan pengunjung non-Jerman. Kini kawasan itu menjadi salah satu tujuan wisata di Berlin.
Museum für Kommunikation
Neue Kirche di dekat pasar Gendarmenmarkt
Museum Altes
Di kawasan Schlossbrücke dengan latar Berliner Dom
Di sekitar awasan Karl-Liebknecht-Str dengan Latar Berliner Fernsehturm dan gereja St. Mary's
Dari situ kami berjalan menyusuri jalan Friedrichstraße mampir di Museum Komunikasi menuju ke Utara, mampir sejenak di pasar Gendarmenmarkt terus ke timur menyeberangi sungai Kupfergraben dan berhenti sejenak di Lustgarten menikmati arsitektur Altes Museum dan Berliner Dom. Tampak beberapa orang penjual souvenir di sisi jalan Schloßplatz, mereka menjual pernak pernik tentara Jerman, di atas jembatan sungai Spree itu segerombolan penipu pinggir jalan mencoba mengerjai beberapa wisatawan yang lewat, termasuk kami, saya tahu mereka bersekongkol dengan permainan tebak dadu. Kami terus ke Timur melewati Berliner Fernsehturm sebuah menara stasiun televisi setinggi 200 meter yang dibangun sekitar tahun 1960an dan sekarang juga menjadi simbol penyatuan Jerman. Tidak jauh dari situ terdapat stasiun Berlin Alexanderplatz Bahnhof, disitulah kami makan siang. 
Tram di Berlin
Masjid Ayasofya
Setelah berkeliling sejenak di kawasan itu kami memutuskan untuk shalat dzuhur di Ayasofya Moschee, itu masjid terdekat menurut peta di handphone kami, terletak di bagian Barat kota menyebabkan kami harus naik kereta bawah tanah Berlin U-Bahn dari Alexanderplatz ke sana ke stasiun Birkenstr, selain itu, masjid itu juga dekat dengan terminal bus ZOB Reisebüro tempat pemberangkatan Flixbus tujuan Hamburg. Selesai shalat, kami lalu kembali naik U-Bahn di stasiun Birkenstr dan turun di Theodor-Heuss-Platz lalu jalan kaki ke terminal bus. Karena tidak mengerti tentang sistem tiket kereta U-Bahn itu, sejak dari Alexanderplatz tadi kami tidak beli tiket (tidak disarankan untuk ditiru), naik saja begitu, lagipula tak ada itu namanya gate masuk tempat biasanya tiket dimasukkan atau ditempelkan, tak ada petugas, entah bagaimana mereka mengaturnya, seperti tak diawasi.
Terminal bus ZOB Reiseburo
Kami harus menunggu di terminal itu, disini, di negeri orang ini, menunggu adalah lebih baik daripada kami ditinggal, paling tidak satu jam sebelum berangkat kami sudah tiba. Sekitar pukul lima sore bus tujuan Hamburg siap berangkat, kali ini kami antri paling depan siap berebut tempat duduk, seorang gadis muda sibuk mengabsen penumpang, dengan modal smartphone-nya ia men-scan barcode tiap tiket penumpang. Sebelum berangkat tadi kami sudah makan tidak jauh dari terminal itu, makan kebab dan kentang. Bus berangkat ke Hamburg dan di perkirakan butuh waktu tiga jam. 

Sampai di terminal ZOB Hamburg kami bergegas ke hotel, itu tidak jauh dari terminal. Sampai di hotel saya langsung mandi dan mengistirahatkan kaki yang pegal bersiap untuk besok berkeliling di kota Hamburg.

Stasiun Berliner Tor
Pagi yang berawan memayungi awal perjalanan kami di Hamburg. Kami berencana mulai berjalan dari pinggir kawasan pelabuhan lalu menuju pusat kota. Dari hotel kami hanya berjalan kaki ke stasiun Hamburg Berliner Tor, kali ini kami naik S-Bahn (kereta on the ground), kali ini kami beli tiket, harganya hanya 1,75 euro, stasiun tujuan kami adalah Hamburg Landungsbrücken di sisi sungai Norderelbe.
Di kawasan Bei den St. Pauli
Memandang ke Hafen City
Museum Rickmer Rickmers
Keluar dari stasiun Landungsbrücken kami langsung disuguhi pemandangan tepi sungai Elbe dan pelabuhan di sepanjang sisi sungai itu, tampak di sebelah timur adalah Hafen city dan Museum Rickmer Rickmers. Hafen City adalah kota di tengah sungai yang dirancang bukan menentang banjir namun cukup beradaptasi, makanya banyak bangunan tepi sungai di kota ini yang lantai bawahnya dipersiapkan untuk menerima banjir, disisi sungai dijadikan jalur pedestrian, sedang disisi lainnya bisa dijadikan parkiran kendaraan, model yang boleh ditiru kawasan pinggir sungai di Indonesia yang berlangganan dengan banjir.

Adaptasi bentuk bangunan di pinggir kanal Herrengrabenfleet kota Hamburg
Kami mulai menyusuri jalan Ditmar-Koel-Straße menuju pusat kota. Beberapa toko baru saja buka pagi itu, termasuk toko souvenir yang sukses menarik saya masuk dan menggoda untuk membeli beberapa pernik disana. Banyak sekali toko yang menegaskan Hamburg adalah kota pelabuhan di kawasan ini, beberapa menjual perlengkapan kapal, beberapa toko souvenir, café, pernak-pernik pelaut, barang antik peninggalan kapal, dan banyak lagi.
Di atas jembatan Graskellerbrucke
Kawasan belanja Neuer Wall
Bersantai di sisi Kleine Alster
Kawasan belanja di Rathaus
Kawasan Rathaus dengan latar Alter Wall
Kawasan Rathaus
Hamburg Townhall atau Rathaus
Kawasan belanja Mönckebergstrabe

Kami melewati taman Michelwiese lalu menyusuri sungai Herrengrabenfleet dan terus berjalan menuju pusat kota melewati jalan Nueur wall, kawasan belanja elit di Hamburg. Akhirnya kami sampai di pusat kota yang saat itu sedang ada pasar Christmas di depan Townhall. Ramai pengunjung siang itu. 

Kawasan Jungfernstieg
Waktu zuhur sudah masuk, saat nya mencari masjid, yang terdekat dengan terminal bus, kami menyusuri jalan Ballindamm dan terus berjalan ke arah stasiun pusat. Masjidnya terletak diantara ruko, tak kelihatan sebuah masjid jika dari luar, hanya sebuah papan nama tertempel di dinding luar bangunan itu.
Stasiun pusat kereta Hamburg 
Kawasan Munzplatz
Masjid Muhajirin tak jauh dari stasiun kereta Hamburg Central
Selesai shalat saatnya makan siang, makan apa? Doner kebab dan kentang, lagi, seperti biasa, kami beli di lantai bawah stasiun pusat itu, banyak yang antri, sepertinya enak, dan ternyata setelah kami nikmati memang enak, pantas ramai yang beli. Kami menikmati makan siang di kawasan Hamburg Central stasiun sambil memperhatikan lalu lalang orang, kenapa disini terlihat lebih ramai daripada Berlin kemarin, mungkin kami tidak menemukan kawasan yang ramai di Berlin kemarin. Setelah lelah kami lalu menuju ke terminal bus bersiap kembali ke Groningen. Itulah perjalanan liburan perdana kami melihat sejarah runtuhnya tembok Berlin hingga mampir sebentar di kota pelabuhan Hamburg.

Minggu, 24 April 2016

Groningen, dimana-mana sepeda

Bagi anda pecinta sepeda dan semacamnya pasti tahu kota ini. Kota di Belanda dengan populasi sepeda paling tinggi. Bayangkan saja 61% perjalanan orang di kota ini pakai sepeda, beda ya dengan negara Saya. Trus 71% dari jumlah perjalanan itu adalah perjalanan ke universitas, memang sih disini terdapat salah satu tempat kuliah terkenal di Belanda yaitu University of Groningen dengan ribuan mahasiswanya. Populasi penduduk Groningen hanya 300 ribu jiwa dan 18 % dari jumlah itu adalah mahasiswa. Data yang saya dapat bahwa jumlah sepeda di Groningen adalah 1,4 sepeda perorang, wuih.. artinya ada satu orang yang punya lebih dari satu sepeda. Dan di setiap rumah terdapat 3,1 sepeda jadi ya wajar saja kalau kota ini menjadi kotanya pesepeda. Bentuk kota yang datar (meski ada beberapa tanjakan akibat flyover), cuaca yang sejuk, dan infrastruktur yang baik semakin memanjakan para pesepeda. Para pengguna sepeda di kota ini dari berbagai jenis manusia, eh maksudnya beragam, mulai dari anak kecil (SD kali ya) sampai lansia, baik wanita ataupun pria, baik kelas bawah hingga kelas atas, mahasiswa hingga professor. Seberapa penting sepeda di kota ini? sangat menurut saya, meski anda bisa kemana saja dengan bus namun itu bus tidak beroperasi 24 jam, pada hari libur jadwal bus juga berkurang, tentu ada taksi jika ada keperluan mendesak tapi lagi-lagi itu semua sangat mahal, sangat menguras kantong, maka punyalah sepeda, anda akan senang bisa kemana saja kapan saja. Dalam tulisan ini saya akan membahas Groningen sebagai kota sepeda dari berbagai aspek mulai dari sarana, prasarana, teknologi, peraturan.

Di kota ini berbagai model sepeda bisa anda jumpai, meski di-dominasi sepeda model standar, banyak juga saya temui bakfiets untuk mengangkut anak-anak 2-4 orang. Ada juga sepeda recumbent, ada fietskar untuk digandeng di belakang sepeda, pokoknya macam-macam. Kalau bicara merek mungkin ada puluhan mulai dari Gazelle, Batavus, Sparta, Cortina, Giant dan banyak lagi, jika satu produsen saja punya puluhan model bisa dibayangkan ratusan bahkan ribuan model sepeda di kota ini. Untuk harganya, sepeda baru yang bagus dijual antara 500-2000an euro, nah kalau mau beli yang bekas anda bisa mendapatkan dengan harga 70-200 euro, lumayankan. Tapi kebanyakan sepeda yang ada di kota ini adalah sepeda bekas yang diperdagangkan antar mahasiswa yang datang dan pergi, anda bisa mencarinya via facebook grup yang menjual barang-barang bekas atau di toko-toko sepeda, mereka memajangnya di luar toko.

Pemerintah kota ini sangat bersemangat menyediakan berbagai prasarana bagi pesepeda, jalur jalur sepeda seakan tidak pernah putus, kecuali anda salah jalan hehehe. Jalur sepeda dibuat khusus dan terpisah dari jalur pejalan kaki, jadi di kota ini tuh jalan dibagi tiga, ada jalur kendaraan, jalur sepeda yang juga dipakai oleh sepeda motor kecil seperti matic dan terakhir juga jalur pejalan kaki. Kalau diukur-ukur di beberapa bagian pusat kota jalur sepeda dan pejalan kaki itu lebih lebar dibanding jalur untuk mobil, misal nih ya total jalur mobil dua jalur itu lebarnya 5 meter, nah total jalur sepeda dan pejalan kaki dua jalur itu lebarnya bisa 8 meter. Untuk mengakomodir semua moda biar bisa lewat, ada beberapa jalan yang dibuat mix atau shared space, semua orang boleh lewat situ pejalan kaki, pesepeda, motor, mobil hingga truk, tapi ya gitu mesti pelan-pelan karena ramai orang. Selain jalur, tempat parkir sepeda juga penting, hampir di semua bangunan punya tempat parkir sepeda, di fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, terminal, stasiun dsb tersedia banyak rak sepeda. Rak-rak itu dibuat dengan berbagai model yang unik, bahkan parkir sepeda di stasiun dilengkapi layar informasi berapa rak yang masih kosong sehingga membantu orang yang mencari rak yang kosong. Selain itu tersedia banyak tempat parkir sepeda, bahkan kalau kehabisan tempat parkir anda bisa mengunci sepeda anda di tiang atau pohon. Oh ya mengunci sepeda adalah penting, karena ada juga kasus pencurian sepeda, biasa anak-anak nakal. Sepeda anda kempes? jangan khawatir banyak toko sepeda di kota ini, jadi anda bisa pinjam pompa dari mereka gratis, bahkan di parkiran sepeda di Stasiun Groningen tersedia pompa angin gratis. Jika terpaksa harus ditambal, sekali tambal kena 6,5 euro, nah kalau ganti ban dalam itu bisa 16 euro. Investasi besar membangun infrastruktur jalur sepeda di kota ini telah menurunkan penggunaan mobil pribadi begitu juga kualitas udaranya adalah yang terbaik dibanding kota-kota lain di Belanda. Meskipun sering saya lihat berjejer mobil pribadi di komplek perumahan kota ini, tapi mereka tetap menggunakan sepeda. Mungkin mereka baru menggunakan mobil untuk keperluan tertentu dan tujuan yang jauh. Mau bawa sepeda di kereta? bisa! tersedia space buat sepeda di atas kereta cuma tidak banyak, satu rangkaian kereta mungkin hanya menyediakan 2 gerbong yang punya ruang sepeda dan ruang sepeda di satu gerbong itu paling muat hanya untuk 2 sepeda, tapi lumayanlah.

Dari sisi teknologi, sudah banyak sepeda dengan penggerak tenaga listrik disini namun harganya sangat mahal. Para pesepeda di kota ini juga dimanja dengan teknologi lampu lalu lintas, para pesepeda langsung diberi lampu ijo di persimpangan karena ada sensornya. Tapi ngga semua simpang, hanya beberapa, kalau di jalur utama tetap normal, prioritas tetap diberikan pada bus kota, trus pesepeda hanya jika ada sedikit mobil di persimpangan. Pokoknya sistem disini dibuat sangat adaptive-lah.





Ketika mengendarai sepeda anda harus hati-hati apalagi jika pengalaman awal dan masih belajar bersepeda. Bersepeda di lajur sepeda juga mengikuti kebiasaan lalu lintas, ya Belanda seperti negara Eropa lainnya menganut ‘setir kiri’ jadi kendaraan berjalan di jalur kanan, begitupun sepeda juga di lajur kanan terutama untuk lintasan yang jadi satu betul-betul harus waspada ketika belok. Pernah saya sekali membuat orang celaka, saat awal awal bersepeda dan belum paham aturan bersepeda, seorang pria jatuh ketika berusaha menyalip saya dari kiri, salah saya seharusnya saya berjalan di lajur kanan agar orang bisa nyalip di kiri. Pernah juga ketika belok saya tidak memberi ‘sign’ dengan tangan, seorang cewek dengan matic-nya hampir jatuh, untung tidak apa-apa. Saat bersepeda penting untuk juga mengerti rambu-rambu lalu lintas, jalur satu arah dimana atau bila melihat rambu segitiga merah (biasanya juga dicetak di permukaan jalan segitiga berwarna putih) di persimpangan anda harus berhati-hati dan mendahulukan lalu lintas dari arah lain.

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...