Jumat, 06 Mei 2016

Ayah... kebun dan kenangan indah di dusun

Pagi itu kutelepon dirinya, itu masih siang disana, perbedaan waktu antara Belanda dan Indonesia itu 5 jam.

"Assalamuallaikum..." kataku tak menyangka teleponku sudah tersambung.

Dua hari yang lalu kucoba menelpon dirinya, karena rindu tak ada kabar, biasanya kami bicara melalui pesan singkat, tapi teleponku yang satu itu rusak. Saat kutelepon kemarin itu terdengar suara orang sedang ceramah, pakai pengeras suara, sepertinya Ayah sedang di mesjid, sepertinya menunggu waktu isya disana. Karena suara tak terdengar jelas dan aku merasa tidak nyaman bicara dalam suasana seperti itu lalu kuputuskan sambungan telepon itu. Besok saja pikirku.

"Halo" kataku lagi sembari menunggu jawaban Ayah.
"Lagi apo Yah?" tanyaku lagi sembari menguji apakah ia mengenali suaraku.

"Kau Ko? hehehe" tanyanya sambil terkekeh di ujung telepon.

Dari suaranya aku merasakan kerinduan dan kebahagian seorang Ayah kepada anaknya, maafkan aku baru menghubungimu, Ayah. Kebiasaan burukku memang jarang sekali berkomunikasi lewat telepon, paling hanya pesan singkat.

"Dimano Ko?" tanyanya lagi seolah ingin memastikan keberadaanku.

Mungkin ia pikir aku sudah pulang ke tanah air. Kudengarkan pertanyaan-pertanyaan darinya untuk memastikan kami tak saling bicara.

"Masih di Belanda" jawabku.
"Sehat Yah?" tanyaku tapi tak dijawab, mungkin tak terdengar jelas.

Terdiam ku sejenak. Tak terbiasa ku berbicara banyak. Hanya hal-hal standar yang biasanya kutanyakan. Aku lebih senang mendengar cerita. Beberapa hari yang lalu aku teringat Almarhum Mama, ia paling senang bercerita jika aku menelpon ke rumah dulu sewaktu aku kuliah, masih terngiang suara bahagia Mama menerima telepon dariku.

"Ayah pikir la balik" candanya.

"Belum, masih empat bulan lagi"

Aku senang bisa kembali mendengar kabarnya, senang mendengar dia sedang sibuk dengan kegiatannya. Ia ceritakan kalau ia sedang di dusun. Di dusun itu berarti ia sedang di kebun miliknya. Segala macam tanaman ia tanam sejak dulu di kebun yang luas itu. Karet, durian, mangga, jambu monyet, alpukat, rambutan, nangka, melinjo, jengkol, terakhir ia banyak menanam sawit, di kebun itu banyak kolam, kolam di kebun itu sekarang ia jadikan tempat pemancingan umum. Kolam yang ia buat hampir dua puluh tahun yang lalu itu masih ia rawat. Kolam itu sekarang ia isi dengan ratusan ikan. Sejak ia pensiun 5 tahun lalu berbagai usaha Ia lakukan, apalagi sejak Mama tiada, kebun itu adalah pelariannya. Untuk mengisi kesibukannya selain ke kebun Ia juga menjadi pengurus di organisasi pensiunan pegawai kantornya dulu, pemilu di Bengkulu tahun lalu Ia menjadi pengurus di salah satu partai, syukurlah Ia masih sibuk.

Aku tidak bisa lagi menemaninya seperti dulu. Itu sejak kuliah dan kerja di luar Bengkulu. Dulu sewaktu di Bengkulu, ia sering mengajakku. Hampir setiap minggu kami ke kebun bersama Mama. Mama biasanya mencari kayu bakar, ia timbun kayu itu di pondok kebun, kadang dibawa pulang untuk masak di rumah. Bersama Ayah aku menjelajah ke dalam rimba. Kakiku kuat berjalan menjejak tanah tanpa alas, tergores ranting dan daun tajam, dari kecil seperti itu. Pernah kami berdua menjelajah hutan hingga sungai, ia mengajakku mancing, menerobos hutan lebat, sore itu hari hujan, ia potongkan sehelai daun pisang untuk menjadi payung anaknya yang kedinginan di sore yang basah, tapi aku tak mengeluh, itu di tengah rimba, tak ada orang disitu, tapi aku tak takut karena Ayah bersamaku. Memancing adalah kegemarannya, sementara hampir selalu ia mengajakku, banyak tempat telah kami jelajahi hanya untuk memancing. Sepertinya ia ingin mengajarkan cerita hidupnya dulu, berkelana di hutan, bermain di rimba, menggembala kerbau di sawah, memetik kopi di kebun, memanen padi di ladang, memancing ikan di sungai. Ia anak bungsu tapi itu tak membuatnya bermanja-manja, ia senang menjelajah kemana-mana,  layaknya tentara, seperti Bak-nya, nenek yang mantan seorang pejuang itu, dan semua itulah yang membuat ia begitu kuat.

Sore itu saat kutelpon Ia sedang menjaga kolam pemancingannya.

"Banyak yang datang" ceritanya dengan bangga tentang kolam pemancingan barunya itu
"Sekali masuk 15 ribu, lumayan"
"Banyak ikannyo Ayah lepas, ado Lele, ikan Mas, jadilah..." katanya lagi.

Tanah kebun itu adalah tanah warisan nenek (kakek). Lokasinya di pinggir jalan Bengkulu-Taba Penanjung. Kebun itu tak terlihat dari pinggir jalan, hanya sebuah rumah tua peninggalan nenek penandanya. Di belakang rumah itulah kebun itu, menuruni lembah yang curam. Rumah tua di pinggir jalan itu kini disewakan.

"Ado yang ngontrak rumah di atas tuh, Yah?" tanyaku.
"Ado orang ngisinyo" jawabnya.

Aku senang mendengar rumah itu ada yang menyewa. Itu artinya ada uang tambahan untuk Ayah. Paling tidak untuk kebutuhannya, meskipun belum banyak membantu Ibu. Sepeninggal Mama Ayah menikah lagi. Meskipun di dalam hati aku sendiri kurang setuju, namun itu adalah hak Ayah, dan dia punya alasan untuk itu. Sampai ia harus datang ke Bogor menemui aku, menggali pandanganku tentang rencananya waktu itu. Toh aku tetap datang di acara pernikahannya, menghormatinya, menghargai keputusannya, meski kecewa.

"Dipasang merek depan rumah" ceritanya.

Ia pasang iklan kolam pemancingan di depan rumah pinggir jalan itu. Ia bergantian menjaganya dengan Om Ron, temannya di dusun itu.

"Kadang Ayah yang jago, kadang Om Ron" ceritanya lagi.
"Sampai magrib Ayah (disini)" katanya ketika kutanya sampai kapan ia menunggu di kolam itu.

Masih sama seperti kebiasaan kami dulu. Menjelang magrib kami baru pulang dari kebun. Dulu kami pernah ke kebun itu naik sepeda dari kota, jaraknya tidak jauh, hanya 21 kilometer. Bukan karena ingin bersepeda, tapi itu hari raya, Ayah mengajak kami berlebaran ke tempat nenek. Tapi di rumah cuma ada satu vespa tua, tak cukup untuk mengangkut kami bertujuh. Tak lama sejak pindah di Pagar Dewa, Ayah bisa membeli sebuah mobil, mobil itu bekas mobil kantor yang dilelang. Mobil itulah yangg digunakannya setiap minggu ke kebun. Jika pulang dari kebun, di mobil itu biasanya sudah penuh dengan kayu bakar Mama dan macam-macam hasil kebun. Kadang kalau musim rambutan atau mangga bisa berkarung karung kami bawa.

"Kau sehat ajo, Ko?" tanyanya.
"Alhamdulillah sehat" jawabku.

Lalu kuceritakan jika sekarang sudah musim panas di Belanda.

Setiap mendengar ceritanya, semakin aku merasa betapa hebat dirinya, meski banyak kekurangan dimata kami anaknya tentang bagaimana seharusnya seorang ayah. Aku terus mengaguminya. Sehat terus Ayah, nanti kita jalan bersama, memancing bersama, tapi tidak di hutan atau di kebun, di kolam pemancingan saja, bersama cucu-cucumu Alzer dan Alfar.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...