Senin, 23 April 2018

Kereta Layang, Kereta Bandara, Kereta Rel Listrik, Kereta Yang Penting Ada...

Gua baru pulang dari luar negeri, self check in dan self baggage handling sendiri di bandara. Sampai di Indonesia, top up kartu KRL gua mesti dibantu satpam. Bangke!
Sekali waktu saya ingin mencoba Kereta Bandara-KA Bandara. Saya sedang terburu-buru dari Soetta mengejar kelas sore di Bogor. Siang itu pilihan naik KRL di stasiun Kota saya urungkan. Saya lihat di maps, tol bandara macet. Jadilah ini kesempatan menjajal KA Bandara. Meski hanya sampai di Stasiun Sudirman Baru, saya bisa sambung dengan KRL dari Stasiun Sudirman.

Sebenarnya sudah lama saya ingin mencoba KA Bandara, cuma karena harga tiketnya sedikit mahal dibanding bus Damri dan juga saya selalu terburu-buru, makanya saya tak pernah mencobanya. KA Bandara dari berita yang saya baca dan sempat viral, belum jelas. Klo pun jelas, headway-nya masih terlalu lama, setengah jam. Tapi kali ini saya ingin mencobanya.

Dari Terminal 3, saya harus mengejar Kereta Layang-KA Layang yang sebentar lagi berangkat, telat sedikit saja akan ditinggal dan harus menunggu kereta berikutnya. Beberapa petugas mengatur penumpang yang akan turun dan naik, di depan pintu kereta diberi penghalang, petugas mendahulukan penumpang yang turun, setelah selesai penghalang dibuka, penumpang yang akan naik baru dipersilahkan masuk. Klo di Malaysia KLIA, kereta antar terminalnya memanfaatkan 2 sisi pintu kereta. Satu sisi untuk penumpang turun, dan sisi lainnya untuk penumpang naik, sehingga tak perlu petugas untuk mengatur naik turun penumpang. Setelah melewati stasiun Terminal 2, KA Layang selanjutnya berhenti di stasiun KA Bandara. Saya pun turun, tidak ada petunjuk yang jelas kemana saya harus menuju. Ada 3 petugas sekuriti berdiri mengarahkan penumpang. Saya tetap berjalan tanpa tahu menuju kemana. Saya mengikuti lelaki di depan saya. Saya rasa ia juga akan ke KA Bandara. Setelah turun ke lantai bawah. masih belum terlihat penunjuk yang jelas ke arah mana peron KA Bandara Kalaupun ada, desain dan penempatan sign-nya sungguh buruk sama buruknya seperti desain Terminal 3 Soekarno Hatta. Saya terus mengikuti lelaki tadi. Kami tiba di lobi ruang penumpang KA Bandara. terlihat lelaki tadi menuju ke meja informasi, mata saya segera mencari mesin tiket. Dapat. Itu ada di sebelah kiri. Saya langsung menuju mesin tiket. Mesin tiketnya sederhana. Tak terlihat jika mesin itu menerima uang tunai. Hanya ada perangkat EDC di panelnya.

Saya tanya petugas apakah kartu ATM bisa digunakan? Bisa katanya. Syukurlah. Saya pesan tiket. Cukup memasukkan no telepon dan pilih jam serta stasiun tujuan. Setelah itu saya menggesekkan kartu ATM di EDC. Tiket diprint. Selesai. Tiketnya hanya sehelai kertas tipis. Ada barcode-nya. Cukup mudah untuk orang seperti saya. Saya memerlukan waktu sekitar 1 - 2 menit untuk menyelesaikan proses tersebut. Lain lagi bagi orang yang kurang paham, mungkin lebih dari 3 menit, karena tulisan di layar ukurannya kecil, sehingga harus benar-benar teliti. Dari jadwal yang ada, KA Bandara berangkat tiap 30 menit. Saya langsung menuju ke gate masuk. Oleh petugas, saya belum diperbolehkan masuk, harus menunggu di ruang tunggu dulu. Tidak lama kereta datang, petugas memanggil penumpang yang akan naik. Penumpang menuju ke peron. Cukup ramai di ruang tunggu waktu itu. Namun tak semuanya langsung naik ke kereta. Mungkin mereka menunggu kereta berikutnya.

Untuk membuka gate, penumpang harus menggunakan tiket. Scan barcode di tiket di alat scan gate. Tralaaa gate terbuka. Ketika masuk, terdapat 2 peron di jalur KA Bandara, jika ada 2 kereta di stasiun penumpang akan bingung kereta mana yang berangkat duluan, mesti bertanya ke petugas. Peron KA ada 2 (klo ga salah). Lebar peron sekitar 2,5 meter. Karena tidak ada nomor tempat duduk dan nomor gerbong di tiket jadi bisa bebas pilih tempat duduk. Saya pilih di depan. Keretanya bersih. Separuh bangku di gerbong menghadap ke depan dan separuh lagi menghadap ke belakang. Saya pilih bangku di tengah. Saya pikir ruang kakinya luas ternyata tidak. Bangku tengah justru ruang kakinya sempit. Entah siapa yang mendesainnya, sungguh buruk pengaturan jarak tempat duduknya. Sandaran kursi bisa disesuaikan. Di bagian tengah kursi terdapat colokan USB. Di dalam gerbong terdapat papan informasi elektronik. Tujuan kereta, kecepatan dan suhu gerbong bisa dilihat disitu. KA Bandara siang itu sepi penumpang. Beberapa menit kemudian kereta berangkat. Satu gerbong mungkin hanya diisi 3 penumpang.

Dari Soetta ke Sudirman Baru memerlukan waktu tempuh sekitar 50 menit. Stasiun pemberhentian pertama adalah Stasiun Batu Ceper, disusul Duri, dan Sudirman Baru. Sebelumnya di benak saya bertanya jika naik kendaraan dai Jakarta ke Soetta hanya perlu waktu 40 menit di lalu lintas lancar. Tapi kereta bandara yang harusnya lebih cepat justru perlu waktu 50 menit. Ternyata jalur kereta dari Stasiun Bandara dan Batu Ceper tidak lurus, jalurnya berbelok-belok, makanya agak lama, belum lagi di Duri kereta berhenti agak lama, antri dengan kereta KRL.

Saya tiba di Stasiun Sudirman Baru tepat 50 menit dari keberangkatan. Penumpang harus menggunakan tiket untuk membuka gate keluar. Padahal tiket kertas tipis itu sudah saya lipat-lipat. Stasiun Sudirman dan Sudirman baru letaknya berbeda, penumpang harus jalan kaki sekitar 100 meter, menyusuri jalan di samping rel. Waktu itu saya membawa travel bag. Ada tangga dan turunan terbuat dari pelat yang sangat curam, maksudnya mungkin ingin memudahkan bagi penumpang yang membawa travel bag, tapi desainnya sungguh curam. Seperti tak punya niat. Yang penting ada.

Sampai di Stasiun Sudirman, desain tangganya tidak memudahkan penumpang yang membawa travel bag. Bahkan saya harus naik tangga membawa travel bag saya karena isi ulang tiket THB hanya bisa dilakukan di lantai atas stasiun. Sampai di mesin isi ulang, saya agak bingung, jika mesin isi ulang kartu Multitrip agak sederhana, mesin isi ulang kartu THB ukurannya 2 kali lebih besar, ada dispenser, ada slot kartu beberapa buah, ada tempat memasukkan uang kertas, pertama kali menggunakan mesin itu saya agak bingung, untung ada petugas satpam di dekat situ, ia mengajari saya mengisi ulang kartu THB. Menurut saya desain mesin itu sungguh buruk. Pemilihan warnanya norak, terlalu banyak aksesoris dan tulisan ga penting malah bikin bingung. Dari sekian banyak negara yang saya gunakan mesin tiket keretanya, mesin tiket kereta KRL ini paling tidak ramah digunakan.

Baiklah, setelah menggunakan KA Layang, KA Bandara, dan lanjut KRL di Sudirman berikut komentar saya.

  1. Desain Terminal 3 buruk, terlalu jauh berjalan kaki ke gate yang di ujung, (kan ada mobil golf) iya tapi itu tidak sustainable, penyinaran lampunya, colokan listriknya semua buruk. Hanya toiletnya yang bagus dan bakmi GM-nya. Eh lupa saya kan mau komentar keretanya bukan bandaranya. Tapi ga papa sekalian unek-unek saya.
  2. KA Layang. Untuk kereta ini penunjuk ke arah stasiunnya perlu ditambah, biar lebih mudah. Di stasiun belum ada papan informasi berapa lama kereta berikut akan datang. Saya harus bertanya ke petugas. Trus hilangkan saja itu petugas sekuriti pengatur naik turun, biar penumpang mandiri mengatur sendiri naik turun. Yang penting diberi sign yang jelas.
  3. Penunjuk di Stasiun Bandara perlu ditambah dan penempatannya mudah dilihat. Penunjuknya mungkin sudah ada, cuma penempatannya kurang pas. Sama seperti di atas, hilangkan saja petugas sekuriti pengarah penumpang.
  4. Lanjut ke KA Bandara, mesin tiketnya untuk sementara bolehlah, tapi beberapa tahun ke depan harus diganti ke mesin yang benar-benar mesin yang bagus, bukan alakadarnya. Harus bisa menerima uang tunai. Interfacenya sederhana dan jelas. 
  5. KA Bandara ini terlalu eksklusif, di stasiunnya ada ruang tunggunya karena headwaynya yang lama, jadi penumpang yang menunggu harus ditempatkan di lobi. Awalnya dulu ada nomor tempat duduknya, karena kapasitas angkutnya terbatas, di dalam gerbong juga ada nomor tempat duduknya, sekarang ga pakai nomor tempat duduk karena banyak bangku kosong. Padahal kalau dibuat model KRL mungkin banyak yang akan naik. Tak perlu ruang tunggu karena headwaynya sebentar. Tarifnya disesuaikan jarak tempuh. Sepertinya konsep KA Bandara sudah salah dari awal.
  6. Perpindahan dari Sudirman Baru ke Sudirman tidak ramah penumpang yang bawa travel bag. Trus, dimana-mana namanya Sudirman Baru, saya lihat di luar stasiun plang namanya Stasiun BNI City, ga pa pa sih, itu untuk meyakinkan orang kalau masih di Indonesia. Sering dibuat bingung sendiri.
  7. Mesin isi ulang kartu THB dari segi desain, interface, warna dan semuanya buruk. Ganti yang lebih modern dan canggih. Dulu waktu studi banding gimana sih, KAI?
  8. Oh ya terkait penunjuk arah (sign) yang desain dan penempatannya buruk di stasiun-stasiun tadi dan dibiarkan begitu hingga kini, saya tahu jawabannya. Karena para bos-bos dan pejabat-pejabatnya selalu diarahkan oleh pengawalnya jadi mereka ga perlu liat penunjuk arah. Salah sendiri penumpang ga bawa pengawal.
Demikian cerita dan komentar saya tentang kereta yang penting ada. Saatnya kembali menikmati sistem transportasi di Indonesia. Seperti biasa, kalau bisa dibuat susah kenapa dipermudah. 

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...