Jumat, 28 Juni 2019

Safety Pin CO2 Sistem Pemadam Api Tetap di Kapal


Sudah dua kali saya temukan kasus serupa. CO2 sistem kapal gagal beroperasi. Gasnya ada. Mekanismenya bagus. Sertifikat menyatakan baik. Namun ketika diaktivasi gasnya tidak keluar. Setelah diperiksa ternyata pen keselamatan (safety pin) nya masih terpasang. Dari kedua kasus tersebut, baik awak kapal, pemilik kapal, maupun otoritas terkait tidak mengerti bahwa pen tersebut harus dilepas agar mekanisme katup dapat bekerja. Seperti apa seharusnya?.

Mungkin hampir setiap kapal memiliki sistem pemadam api tetap hidran dan CO2. Hidran hampir menjangkau seluruh kapal. Sementara CO2 dipasang untuk kamar mesin, ruang pompa, ruang khusus, dan/atau ruang muatan. Botol-botol CO2 tertata di sebuah ruangan tersendiri. Jumlahnya mulai belasan hingga ratusan botol tergantung luas ruangan yang dilindungi. Kontrol aktivasinya disediakan di dua lokasi. Pertama di luar dekat ruangan yang dilindungi. Kedua terletak di dalam ruangan CO2. Ketika panel aktivasi dibuka, alarm akan menyala. Bunyi alarmnya berbeda dengan alarm kapal. Fungsinya untuk memperingatkan orang bahwa CO2 akan dilepas dan orang harus segera meninggalkan ruangan tersebut. Seketika itu pula sistem bahan bakar dan ventilasi mati (trip).

Dari banyak sistem yang saya temukan, di dalam panel aktivasi terdapat pilot silinder berisi gas CO2 yang berfungsi membuka katup-katup di botol-botol CO2. Beberapa mekanisme katup CO2 yang sering dijumpai adalah mekanisme menggunakan linkage (penghubung) untuk menahan katup, aktuator untuk mendorong linkage dan sebuah pen keselamatan yang berfungsi menahan linkage. Pen keselamatan pada dasarnya berfungsi untuk mencegah katup terbuka secara tidak sengaja pada waktu pemindahan botol dari darat ke kapal atau sebaliknya. Pen juga digunakan ketika sedang melakukan perawatan di sistem CO2. Ketika kapal beroperasi, pen tersebut harus dilepas. Pen bisa saja dibiarkan dipasang di katup, namun pemilik dan awak kapal harus menyadari bahwa pen tersebut dilepas sesaat sebelum sistem CO2 diaktivasi. Hal ini mungkin dapat dilakukan di kapal-kapal yang hanya dilengkapi kurang dari 10 botol CO2.

Mekanisme katup terbuka
Jadi, bila kapal anda memiliki sistem CO2 pemadam api tetap dengan mekanisme katup menggunakan pen keselamatan, baiknya anda pastikan bahwa pen-pen di katup botol CO2 telah dilepas, ya.

Senin, 24 Juni 2019

Rumput Menghias Waingapu


Setelah ke Alor dan Merauke, kini saya ke bagian timur yang lebih ke selatan lagi. Ke Pulau Sumba. Ke Waingapu. Naik Wings ATR 72-600 dari Denpasar. Tiba di Bandara Umbu Mehang Kunda saya langsung disambut Pak Anis. Ia asli Larantuka. Keluarga dan rumahnya di Banyuwangi. Ditugaskan ke Waingapu baru tiga hari. Dari bandara kami  langsung ke pelabuhan melewati arena pacuan kuda seluas stadion sepak bola. Itulah hiburan di daerah ini. Acara pacuan setahun sekali sekitar bulan Agustus. Akan menampilkan penunggang kuda tanpa pelana. Yang latihannya di dekat pantai. Di antara rimbunnya pohon bakau.
Bukit di Waingapu
Mendekati kawasan pelabuhan ada Balai Karantina yang lahannya sangat luas. Di tengah-tengahnya ada kandang besar. Banyak kuda di dalamnya. Memang Waingapu merupakan salah satu penghasil ternak. Ada sapi, kuda, dan kambing. Dikirim ke Jawa dan Sulawesi. Jika anda ke pelosok perkampungan akan terlihat kuda di mana-mana. Hampir dijumpai di rumah-rumah. Juga babi. Berkeliaran seenaknya.

Kuda-kuda berkeliaran di pinggir jalan
Cuaca sangat cerah siang itu karena ini sudah masuk musim panas. Musim penghujan telah lewat. Air adalah salah satu masalah di Waingapu. Meski tak separah seperti di Alor, yang sungainya tak berair, beberapa kampung di Waingapu sering sulit mendapatkan air. Air sungai di Waingapu saya lihat masih mengalir jernih. Saya lihat tanahnya tak sekeras Alor. Tanaman mulai nampak menguning. Hanya pohon mangga yang mulai berbunga. Saya dengar mangga Waingapu rasanya beda. Kami melewati kampung Kamalaputi yang jual makan 24 jam. Khas menjual nasi kuning.

Dari kejauhan nampak bukit-bukit yang indah berwarna hijau kekuningan warna khas memasuki musim kemarau. Nanti di musim penghujan bukit-bukit itu berwarna hijau. Sekitar Desember. Di bagian tengah dan selatan Pulau Sumba ada wisata air terjun yang indah dan jernih. Dari udara akan terlihat, belahan selatan Pulau Sumba lebih hijau dibanding bagian utaranya. Sayang saya tak sempat ke sana. Saya hanya ke Bukit Warinding. Sekitar setengah jam dari kota. Saya minta tolong hotel untuk memanggilkan mobil sewa. Tak ada angkutan umum di Waingapu. Hanya ada bus ke Sumba Timur dan Barat. Di Bukit Warinding kami harus mengisi buku tamu dan memberi uang alakadarnya ke warga. Di bukit itu hanya tumbuh rumput. Sejauh mata memandang. Kami bertemu bocah penunggang kuda tanpa pelana. Ia baru kelas 4 sekolah dasar. Di dekatnya ada wisatawan Cina sedang mengambil foto acara pernikahan berlatar Bukit Warinding. Dari situ kami ke Bukit Seribu. Melewati persawahan memandang ke lembah. Menikmati senja. Padi dari sawah-sawah itu hanya cukup untuk konsumsi penduduk Sumba setengah tahun. Selebihnya harus mendatangkan dari luar daerah.

Bocah penunggang kuda tanpa pelana
Kami makan malam di warung tepi pelabuhan rakyat. Di sisi jalan masuk pelabuhan setiap malam banyak pedagang ikan menggelar dagangannya. Ada tuna, cumi, dan makarel dari laut yang masih segar. Di warung makan ikan bakar tepi pelabuhan, sambil menikmati hidangan ikan asam dan terong krispy, sedang ada pembongkaran batu kerikil dari tongkang ke pelabuhan. Yang didatangkan dari Bali. Material itu untuk proyek pabrik tebu di Sumba Timur. Kebunnya telah lebih dulu ada (baca: Kebun di Bumi Yang Belum Jadi). Dahlan Iskan sudah ke sana dan menuliskannya. Tentang betapa beratnya membuat kebun tebu di daerah gersang Sumba Timur. Anda bisa bayangkan ada kebun tebu seluas 6000 ha di tanah kering. Tanah Sumba itu adalah dasar laut yang naik ke atas. Petani di kebun tebu sering menjumpai kulit kerang.

Di warung ikan bakar itu kami menghabiskan malam membicarakan tentang kapal perintis. Di pelabuhan seberang, dua kapal perintis sedang sandar. Kapal-kapal itu dioperasikan perusahaan swasta. Karut marut pengelolaan proyek pemerintah demi alasan masyarakat. Kadang tak sampai ratusan penumpangnya. Disubsisdi miliaran rupiah. Kami juga membicarakan tentang kapal kayu proyek pemerintah. Ratusan miliar harganya. Terbengkalai begitu saja. Ada pula kisah kapal milik kementerian lain yang diserahkan ke pemerintah daerah tanpa satupun surat-surat kapalnya. Kapal itu akhirnya tenggelam bersama misterinya.
Pedagang ikan di pelabuhan
Senja di Bukit Seribu
Dari supir mobil rental saya mendengar kisah. Pencuri di Sumba Barat. Mungkin lebih cocok disebut perampok. Sang pencuri, dengan lantang di depan rumah seorang warga berteriak "Permisi mau ambil motor!" Yang punya motor tidak berani keluar. Merelakan motornya dibawa begitu saja. Mereka takut. Nanti jika warga sudah marah. Perampok itu langsung dihakimi sampai mati. Memang hukum adat di Sumba begitu. Tak banyak waktu di Sumba. Ingin saya ke Tanarara melihat para penari langit. Ingin ke Waimarang dan berendam di jernihnya air perbukitan. Ingin mendengar kisah tentang Nihi Sumba, hotel termahal itu. Aaaahhhh...saya meringkuk kedinginan tertiup hembusan angin bulan Juni. Tapi kali ini cukuplah menghabiskan senja di bukit-bukit Waingapu. Berhias rumput setengah kering.



Senin, 10 Juni 2019

Merauke: Izakod Bekai Izakod Kai



Ini pertama dalam sejarah. Ke tanah Papua. Merauke pula. Ujung timurnya Indonesia. Di titik Nol. Di Perbatasan Papua Nugini. Dari Jakarta kami harus transit di Makassar. Naik maskapai temannya singa. Yang berangkatnya dini hari. Ada Garuda tapi harus transit dua kali. Terlalu lama. Kami tiba masih pagi. Hari Minggu. Di bandara kami disambut bangunan baru Bandara Mopah. Sudah jadi beberapa bulan lalu. Tapi belum dioperasikan karena masih ada urusan pembayaran lahan adat. Yang (lagi) belum selesai. Yang sebelumnya sudah dibayar. Suasana Merauke di Minggu pagi masih lengang. Pengendara motor bebas di jalanan, menerobos lampu merah dan tak pakai helm.

Saya baru tahu ternyata di Merauke banyak sawah. Petaninya para transmigran dari Jawa. Daerah ini merupakan dataran rendah. Tanahnya subur. Air pun melimpah. Kata yang jemput kami, meski banyak pendatang di Merauke, ada juga petani asli Papua. Kebanyakan penduduk asli menjual hasil hutan seperti pinang dan sayur-sayuran. Sementara para pedagang dan pengusaha merupakan para pendatang. Banyak dari Sulawesi. Saya berjumpa teman sewaktu diklat. Dia sudah 11 tahun bertugas di Merauke dan minggu depan akan pindah ke Raha. Sudah lama mengajukan pindah. Tidak tahan lagi. Berat katanya. Mungkin juga sudah rindu keluarganya di sana.

Kami ke Pelabuhan Kelapa Lima milik pemda Merauke. Di sini tempat pengisian BBM ke kapal-kapal kayu tradisional. Yang akan dibawa ke pedalaman Papua. Ke wilayah Agats, Mappi, Okaba, Digul dan sekitarnya. Yang untuk mengantarkan barang ke sana hanya bisa dilalui oleh kapal-kapal ukuran kecil. BBM itu dimuat ke dalam drum-drum plastik dengan pompa portabel dari truk tangki BBM. Pengisian hanya dilakukan siang hari. Sebenarnya penuh risiko. Sudah lebih dari 4 kali kejadian kebakaran di kapal-kapal seperti itu. Ada korban jiwa pula. Tapi tetap saja cara itu dipertahankan. Tidak ada pilihan lain. Sebab kalau tidak, orang orang di pedalaman sudah teriak. Listrik mereka dihasilkan oleh BBM dari Merauke. Drum-drum plastik yang telah diisi BBM mereka siram dengan air agar tidak mudah tersulut. Sepanjang pelayaran mereka lakukan itu. Selama belasan hari. Masuk ke sungai-sungai di pedalaman. Lalu kembali lagi ke Merauke. Bisa saja mengisinya malam hari. Agar panas matahari tidak terlalu terik. Yang membuat BBM jenis premium mudah tersulut. Tapi kawasan Kelapa Lima tidak aman. Banyak orang mabuk.

Dermaga Kelapa Lima
Di dekat saluran air di jembatan pintu air saya lihat banyak orang mengumpulkan batu. Sisa proyek dinding saluran. Mereka kumpulkan dalam karung-karung. Batu susah di Merauke. Harus didatangkan dari luar daerah. Saking sukarnya mencari batu, buat lempar anjing saja susah. Dulu di Merauke banyak rusa. Jadi ikon terkenal karena banyak dan mudah dijumpai. Bahkan di belakang rumah. Tapi kini meski harus mencari hingga ke hutan. Karena sering diburu. Kalau mau gampang tinggal ke kebun binatang di tengah kota. Di Merauke ada Museum Kapsul Waktu atau disebut markas Avengers karena dilihat dari atas bentuknya mirip hurup A. Di dalamnya tersimpan mimpi anak-anak Indonesia. Kelak mimpi dalam kapsul itu akan dibuka. Tapi sayang tempat itu tidak untuk umum. Di beberapa gapura akan anda jumpai tulisan Izakod Bekai Izakod Kai yang artinya satu hati satu tujuan. Kalimat yang menjaga persatuan Merauke ditengah beragam suku. Kota ini termasuk tentram. Salah satu alasannya, daerah ini makmur.

Tugu Perbatasan Merauke-Papua Nugini
Rumah semut
Kami sempat ke perbatasan itu. Ke titik 0 km. Hanya 1 jam naik mobil. Karena jalanannya sudah mulus. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada pos pemeriksaan yang dijaga TNI. Supir kami harus melapor dan menyerahkan KTP-nya. Di perbatasan sana juga ada dua kios menjual cenderamata dan tugu 0 km yang dibangun oleh komunitas otomotif. Pas di sana, nampak sedang ada proyek penataan kawasan perbatasan. Tanda Perbatasan Indonesia Papua Nugini itu hanya sebuah tugu kecil lengkap dengan titik koordinatnya. Sepanjang perjalanan banyak kami lihat rumah semut setinggi lebih 1 meter di kanan dan kiri jalan.

Restoran Pinang Sirih
Kebetulan saat itu bulan ramadan. Kami ditraktir makan sup bibir ikan di restoran Pinang Sirih. Restorannya cukup besar. Lahan parkirnya luas. Sup bibir ikan di restoran ini rasanya sangat enak sekali. Bentuknya seperti sup asparagus. Kuahnya kental. Isinya daging ikan, kepiting dan jamur. Anda harus mampir ke restoran ini. Mencoba menu itu. Saya pulang ke Jakarta membawa oleh-oleh dendeng dan abon rusa serta dompet kulit buaya. Dan terngiang-ngiang rasa. Ternyata sate rusa itu enak. Cobalah. Di restoran tadi.

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...