Senin, 24 Juni 2019

Rumput Menghias Waingapu


Setelah ke Alor dan Merauke, kini saya ke bagian timur yang lebih ke selatan lagi. Ke Pulau Sumba. Ke Waingapu. Naik Wings ATR 72-600 dari Denpasar. Tiba di Bandara Umbu Mehang Kunda saya langsung disambut Pak Anis. Ia asli Larantuka. Keluarga dan rumahnya di Banyuwangi. Ditugaskan ke Waingapu baru tiga hari. Dari bandara kami  langsung ke pelabuhan melewati arena pacuan kuda seluas stadion sepak bola. Itulah hiburan di daerah ini. Acara pacuan setahun sekali sekitar bulan Agustus. Akan menampilkan penunggang kuda tanpa pelana. Yang latihannya di dekat pantai. Di antara rimbunnya pohon bakau.
Bukit di Waingapu
Mendekati kawasan pelabuhan ada Balai Karantina yang lahannya sangat luas. Di tengah-tengahnya ada kandang besar. Banyak kuda di dalamnya. Memang Waingapu merupakan salah satu penghasil ternak. Ada sapi, kuda, dan kambing. Dikirim ke Jawa dan Sulawesi. Jika anda ke pelosok perkampungan akan terlihat kuda di mana-mana. Hampir dijumpai di rumah-rumah. Juga babi. Berkeliaran seenaknya.

Kuda-kuda berkeliaran di pinggir jalan
Cuaca sangat cerah siang itu karena ini sudah masuk musim panas. Musim penghujan telah lewat. Air adalah salah satu masalah di Waingapu. Meski tak separah seperti di Alor, yang sungainya tak berair, beberapa kampung di Waingapu sering sulit mendapatkan air. Air sungai di Waingapu saya lihat masih mengalir jernih. Saya lihat tanahnya tak sekeras Alor. Tanaman mulai nampak menguning. Hanya pohon mangga yang mulai berbunga. Saya dengar mangga Waingapu rasanya beda. Kami melewati kampung Kamalaputi yang jual makan 24 jam. Khas menjual nasi kuning.

Dari kejauhan nampak bukit-bukit yang indah berwarna hijau kekuningan warna khas memasuki musim kemarau. Nanti di musim penghujan bukit-bukit itu berwarna hijau. Sekitar Desember. Di bagian tengah dan selatan Pulau Sumba ada wisata air terjun yang indah dan jernih. Dari udara akan terlihat, belahan selatan Pulau Sumba lebih hijau dibanding bagian utaranya. Sayang saya tak sempat ke sana. Saya hanya ke Bukit Warinding. Sekitar setengah jam dari kota. Saya minta tolong hotel untuk memanggilkan mobil sewa. Tak ada angkutan umum di Waingapu. Hanya ada bus ke Sumba Timur dan Barat. Di Bukit Warinding kami harus mengisi buku tamu dan memberi uang alakadarnya ke warga. Di bukit itu hanya tumbuh rumput. Sejauh mata memandang. Kami bertemu bocah penunggang kuda tanpa pelana. Ia baru kelas 4 sekolah dasar. Di dekatnya ada wisatawan Cina sedang mengambil foto acara pernikahan berlatar Bukit Warinding. Dari situ kami ke Bukit Seribu. Melewati persawahan memandang ke lembah. Menikmati senja. Padi dari sawah-sawah itu hanya cukup untuk konsumsi penduduk Sumba setengah tahun. Selebihnya harus mendatangkan dari luar daerah.

Bocah penunggang kuda tanpa pelana
Kami makan malam di warung tepi pelabuhan rakyat. Di sisi jalan masuk pelabuhan setiap malam banyak pedagang ikan menggelar dagangannya. Ada tuna, cumi, dan makarel dari laut yang masih segar. Di warung makan ikan bakar tepi pelabuhan, sambil menikmati hidangan ikan asam dan terong krispy, sedang ada pembongkaran batu kerikil dari tongkang ke pelabuhan. Yang didatangkan dari Bali. Material itu untuk proyek pabrik tebu di Sumba Timur. Kebunnya telah lebih dulu ada (baca: Kebun di Bumi Yang Belum Jadi). Dahlan Iskan sudah ke sana dan menuliskannya. Tentang betapa beratnya membuat kebun tebu di daerah gersang Sumba Timur. Anda bisa bayangkan ada kebun tebu seluas 6000 ha di tanah kering. Tanah Sumba itu adalah dasar laut yang naik ke atas. Petani di kebun tebu sering menjumpai kulit kerang.

Di warung ikan bakar itu kami menghabiskan malam membicarakan tentang kapal perintis. Di pelabuhan seberang, dua kapal perintis sedang sandar. Kapal-kapal itu dioperasikan perusahaan swasta. Karut marut pengelolaan proyek pemerintah demi alasan masyarakat. Kadang tak sampai ratusan penumpangnya. Disubsisdi miliaran rupiah. Kami juga membicarakan tentang kapal kayu proyek pemerintah. Ratusan miliar harganya. Terbengkalai begitu saja. Ada pula kisah kapal milik kementerian lain yang diserahkan ke pemerintah daerah tanpa satupun surat-surat kapalnya. Kapal itu akhirnya tenggelam bersama misterinya.
Pedagang ikan di pelabuhan
Senja di Bukit Seribu
Dari supir mobil rental saya mendengar kisah. Pencuri di Sumba Barat. Mungkin lebih cocok disebut perampok. Sang pencuri, dengan lantang di depan rumah seorang warga berteriak "Permisi mau ambil motor!" Yang punya motor tidak berani keluar. Merelakan motornya dibawa begitu saja. Mereka takut. Nanti jika warga sudah marah. Perampok itu langsung dihakimi sampai mati. Memang hukum adat di Sumba begitu. Tak banyak waktu di Sumba. Ingin saya ke Tanarara melihat para penari langit. Ingin ke Waimarang dan berendam di jernihnya air perbukitan. Ingin mendengar kisah tentang Nihi Sumba, hotel termahal itu. Aaaahhhh...saya meringkuk kedinginan tertiup hembusan angin bulan Juni. Tapi kali ini cukuplah menghabiskan senja di bukit-bukit Waingapu. Berhias rumput setengah kering.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...