Senin, 10 Juni 2019

Merauke: Izakod Bekai Izakod Kai



Ini pertama dalam sejarah. Ke tanah Papua. Merauke pula. Ujung timurnya Indonesia. Di titik Nol. Di Perbatasan Papua Nugini. Dari Jakarta kami harus transit di Makassar. Naik maskapai temannya singa. Yang berangkatnya dini hari. Ada Garuda tapi harus transit dua kali. Terlalu lama. Kami tiba masih pagi. Hari Minggu. Di bandara kami disambut bangunan baru Bandara Mopah. Sudah jadi beberapa bulan lalu. Tapi belum dioperasikan karena masih ada urusan pembayaran lahan adat. Yang (lagi) belum selesai. Yang sebelumnya sudah dibayar. Suasana Merauke di Minggu pagi masih lengang. Pengendara motor bebas di jalanan, menerobos lampu merah dan tak pakai helm.

Saya baru tahu ternyata di Merauke banyak sawah. Petaninya para transmigran dari Jawa. Daerah ini merupakan dataran rendah. Tanahnya subur. Air pun melimpah. Kata yang jemput kami, meski banyak pendatang di Merauke, ada juga petani asli Papua. Kebanyakan penduduk asli menjual hasil hutan seperti pinang dan sayur-sayuran. Sementara para pedagang dan pengusaha merupakan para pendatang. Banyak dari Sulawesi. Saya berjumpa teman sewaktu diklat. Dia sudah 11 tahun bertugas di Merauke dan minggu depan akan pindah ke Raha. Sudah lama mengajukan pindah. Tidak tahan lagi. Berat katanya. Mungkin juga sudah rindu keluarganya di sana.

Kami ke Pelabuhan Kelapa Lima milik pemda Merauke. Di sini tempat pengisian BBM ke kapal-kapal kayu tradisional. Yang akan dibawa ke pedalaman Papua. Ke wilayah Agats, Mappi, Okaba, Digul dan sekitarnya. Yang untuk mengantarkan barang ke sana hanya bisa dilalui oleh kapal-kapal ukuran kecil. BBM itu dimuat ke dalam drum-drum plastik dengan pompa portabel dari truk tangki BBM. Pengisian hanya dilakukan siang hari. Sebenarnya penuh risiko. Sudah lebih dari 4 kali kejadian kebakaran di kapal-kapal seperti itu. Ada korban jiwa pula. Tapi tetap saja cara itu dipertahankan. Tidak ada pilihan lain. Sebab kalau tidak, orang orang di pedalaman sudah teriak. Listrik mereka dihasilkan oleh BBM dari Merauke. Drum-drum plastik yang telah diisi BBM mereka siram dengan air agar tidak mudah tersulut. Sepanjang pelayaran mereka lakukan itu. Selama belasan hari. Masuk ke sungai-sungai di pedalaman. Lalu kembali lagi ke Merauke. Bisa saja mengisinya malam hari. Agar panas matahari tidak terlalu terik. Yang membuat BBM jenis premium mudah tersulut. Tapi kawasan Kelapa Lima tidak aman. Banyak orang mabuk.

Dermaga Kelapa Lima
Di dekat saluran air di jembatan pintu air saya lihat banyak orang mengumpulkan batu. Sisa proyek dinding saluran. Mereka kumpulkan dalam karung-karung. Batu susah di Merauke. Harus didatangkan dari luar daerah. Saking sukarnya mencari batu, buat lempar anjing saja susah. Dulu di Merauke banyak rusa. Jadi ikon terkenal karena banyak dan mudah dijumpai. Bahkan di belakang rumah. Tapi kini meski harus mencari hingga ke hutan. Karena sering diburu. Kalau mau gampang tinggal ke kebun binatang di tengah kota. Di Merauke ada Museum Kapsul Waktu atau disebut markas Avengers karena dilihat dari atas bentuknya mirip hurup A. Di dalamnya tersimpan mimpi anak-anak Indonesia. Kelak mimpi dalam kapsul itu akan dibuka. Tapi sayang tempat itu tidak untuk umum. Di beberapa gapura akan anda jumpai tulisan Izakod Bekai Izakod Kai yang artinya satu hati satu tujuan. Kalimat yang menjaga persatuan Merauke ditengah beragam suku. Kota ini termasuk tentram. Salah satu alasannya, daerah ini makmur.

Tugu Perbatasan Merauke-Papua Nugini
Rumah semut
Kami sempat ke perbatasan itu. Ke titik 0 km. Hanya 1 jam naik mobil. Karena jalanannya sudah mulus. Tidak ada apa-apa di sana. Hanya ada pos pemeriksaan yang dijaga TNI. Supir kami harus melapor dan menyerahkan KTP-nya. Di perbatasan sana juga ada dua kios menjual cenderamata dan tugu 0 km yang dibangun oleh komunitas otomotif. Pas di sana, nampak sedang ada proyek penataan kawasan perbatasan. Tanda Perbatasan Indonesia Papua Nugini itu hanya sebuah tugu kecil lengkap dengan titik koordinatnya. Sepanjang perjalanan banyak kami lihat rumah semut setinggi lebih 1 meter di kanan dan kiri jalan.

Restoran Pinang Sirih
Kebetulan saat itu bulan ramadan. Kami ditraktir makan sup bibir ikan di restoran Pinang Sirih. Restorannya cukup besar. Lahan parkirnya luas. Sup bibir ikan di restoran ini rasanya sangat enak sekali. Bentuknya seperti sup asparagus. Kuahnya kental. Isinya daging ikan, kepiting dan jamur. Anda harus mampir ke restoran ini. Mencoba menu itu. Saya pulang ke Jakarta membawa oleh-oleh dendeng dan abon rusa serta dompet kulit buaya. Dan terngiang-ngiang rasa. Ternyata sate rusa itu enak. Cobalah. Di restoran tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...