Senin, 11 Juni 2018

Kunjungan ke NSW Crashlab dan Menghadiri TSF 2018


Seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia dan Australia melakukan pertemuan tahunan membahas masalah keselamatan transportasi. Sejak kejadian Garuda Indonesia tergelincir di Yogyakarta tahun 2007 yang menyebabkan banyak warga Australia menjadi korban, pemerintah Australia merasa "perlu" membantu Indonesia, memperbaiki tingkat keselamatan transportasi di negeri Nella Kharisma itu. Bertempat di Stamford Plaza Melbourne pertemuan Transport Safety Forum (TSF) itu dilaksanakan pada 17-18 April 2018.


KNKT diwakili oleh Ketua KNKT Dr. Soerjanto Tjahjono di pertemuan tersebut. Namun sebelum hadir di pertemuan tersebut, Ketua KNKT bersama perwakilan dari Balai Teknologi Transportasi Darat Heri Prabowo dan Saiful Jihad melakukan kunjungan ke Crashlab di New South Wales (NSW) pada tanggal 16 April 2018. Dalam kunjungan tersebut, delegasi Indonesia didampingi oleh Manager International ATSB, Richard Batt.

Dari Pullman Airport Sydney hotel bintang lima yang sarapannya minimalis itu, kami berangkat menuju NSW Crashlab pukul 0745 LT. Waktu tempuh dari hotel menuju crashlab sekitar 1 jam. Letak laboratorium itu jauh di pinggiran kota Sydney. Batt memesan minivan taxi untuk kami. Pengemudinya keturunan timur tengah. Selagi mengemudi Saya dengar ia menghubungi seseorang dengan bahasa arab.

Ross menjelaskan tentang Crashlab
Kunjungan ini dilakukan dalam rangka pengembangan fungsi BTTD. Ketua KNKT mengharapkan bantuan ATSB untuk mendorong Crashlab membantu pengembangan BTTD. Biar Indonesia punya laboratorium uji tabrak yang keren. Yang periksanya tidak hanya lampu dan rem. Tapi juga airbag, sabuk keselamatan, konstruksi dsb. Biar produsen tidak sembarangan bikin mobil kaleng kerupuk.

Di Crashlab itu kami disambut oleh Ross Dal Nevo, dia Manajer Crashlab. Dia pria paruh baya yang bersahabat. Kami diajak masuk ke ruang pertemuan. Di situ dia pamer laboratoriumnya. Ditunjukkannya video uji-uji kendaraan, yang biasa dilihat di youtube. Mereka bisa melakukan semuanya. Mulai uji helm, safety belt, baby car seat, safety harness, hingga yang paling keren, uji tabrak kendaraan. Di laboratorium itu mereka memberi bintang pada kendaraan yang mereka uji. Kalau kelas mobil sejuta umat atau selevelnya di negeri Nella Kharisma itu cuma dikasih bintang 1, paling tinggi dikasih 2.

Crashlab mereka itu punya lapangan uji indoor dan outdoor. Yang di indoor kami ga boleh foto-foto. Rahasia katanya. Pas kami disana sempat menyaksikan uji baby car seat di dalam  ruang uji khusus. Laboratorium ujinya berukuran 5 x 15 meter. Kursi bayi itu ditarik lalu dihentikan secara tiba-tiba seolah skenario tubrukan atau ngerem mendadak. Di dalam kursi itu didudukkan dummy (boneka uji) bayi. Kata Ross, persiapannya butuh waktu bulanan, tapi tesnya hanya hitungan belasan menit. Mereka banyak gunakan kamera ber-resolusi tinggi dari berbagi sudut untuk merekam proses pengujian. Lalu dianalisa. Hasilnya diberikan ke klien.

Lapangan Uji Outdoor

Ruang Uji Indoor
Boneka uji mereka itu harganya mahal, miliaran, namun itu bisa dipakai berulang-ulang, hanya perlu dikalibrasi secara berkala. Biaya operasi mereka dari pemerintah negara bagian dan juga dari pelanggan mereka yang menguji produknya. Jalan-jalan di Crashlab berakhir siang itu, Ross ada tamu lain. Dia berjanji akan membantu Indonesia mengembangkan Crashlab jika diminta. Apalagi tersedia lahan yang luas di Bekasi situ, mau bikin laboratorium uji tabrak kereta juga bisa. Cuma masalahnya tidak boleh dengan model Balai seperti sekarang ini. Para pegawainya harus tetap di laboratorium, tak boleh dimutasi kemana-mana. Mereka harus membangun dan mengembangkan laboratoriumnya.

Pukul 13.00 LT lewat 1 jam dari jadwal yang seharusnya, kami kembali ke hotel, dengan van dan supir yang sama. Batt sebelumnya janjian dengan supir taxi itu untuk menjemput kami. Sampai di hotel, Saya, Pak Heri, dan Saiful pamit ke Pak Soer ingin ke kota melihat Harbour Bridge dan Opera House. Dari hotel kami jalan kaki ke Stasiun Mascot. Dari situ kami turun di Stasiun Central. Sampai malam kami di pinggir pelabuhan Sydney itu.

Setelah sarapan pagi, kami bersiap di lobi hotel. Kami harus ke bandara Sydney menuju Melbourne.

Delegasi Indonesia dan Australia dalam TSF

Menghabiskan waktu sore di pingir pelabuha Sydney

Pesawat Challanger milik AMSA



Minggu, 03 Juni 2018

Pertama Kali Di Dabo


"Ok, bareng aku". Itu WhatsApp Aleik kepadaku saat ada tawaran pemeriksaan kapal terbakar di grup investigator sesaat setelah sahur. Saat itu naluri keingintahuanku mengenai kebakaran sedang tinggi. Maklum dua minggu yang lalu aku baru pulang dari Banyuwangi, juga memeriksa kapal terbakar. Aku menyatakan siap ikut.

Kami berangkat siang. Jadwal penerbangan hari itu ke Batam kesiangan. Karena kapal dari Batam ke Dabo pukul 10.30. Kalaupun harus berangkat pagi-pagi pun kami belum siap. Seperti biasa, masalah administrasi kantor. Sebenarnya ada pesawat Susi Air ke Dabo dari Pekanbaru dan Jambi. Cuma penerbangan itu tidak setiap hari. Aleik juga tak mau naik itu. Terlalu ekstrem buatnya. Pagi itu aku langsung ke kantor dengan membawa perlengkapan untuk mengambil peralatan dan surat menyurat.
Aku dan Aleik berangkat ke Bandara Soetta pukul 09.00. Kami ke Batam dulu. Ke kantor pemilik kapal itu. Di pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur.

Tiba di Batam kami dijemput Alwi, kebetulan minggu itu ia pulang kampung. Izin rutin. Kami langsung ke Telaga Punggur mencari informasi kapal feri ke Dabo. Benar saja, feri ke Dabo cuma sekali sehari. Berangkat pukul 10.30. Ada juga kapal ro-ro dari Batam ke Dabo. Tapi hanya hari Jumat dan Selasa. Waktu tempuhnya pun 12 jam. Terlalu lama dibanding feri yang hanya 4 jam. Terlalu lama di jalan jika harus naik feri..

Hari itu kami putuskan menginap dulu di Batam. Di kawasan Nagoya. Kami berbuka puasa di warung sup ikan Yonkee. Lalu shalat di masjid besar Jabal Arafah dekat hotel kami. Yang salat tarawihnya 8 rakaat. Bacaan imamnya khusu' dan merdu. Masjidnya pun bagus, aku dibuat kagum. Desainnya juga kompak. Tidak seperti Terminal 3 Soetta yang panjang itu, yang tiap jalan ke gate ujungnya selalu kumaki dalam hati. Masjid itu dibangun oleh Asman Abnur tahun 2010. Dia orang Padang dan tinggal di Batam. Pengusaha sekaligus politisi Batam. Pernah jadi Walikota Batam dan anggota dewan. Ayahnya seorang pengusaha emas. Asman pernah menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RB.

Keesokan harinya kami berangkat pukul 08.00 dari hotel. Sampai di Telaga Punggur kami harus menunggu lagi. Kapal Ocenana 3 yang akan mengantarkan kami ke Dabo belum tiba. Pukul 10.40 kapal kami siap dan langsung berangkat. Kapalnya dari aluminium. Bagus dan nyaman. Penumpang agak penuh saat itu.Cuaca pagi menjelang siang cukup cerah. Kapal melaju kencang hingga 20 knot. Sepanjang perjalanan sinyal telepon hilang timbul. Aku memilih tidur sepanjang perjalanan. Pukul 14.30 kapal tiba di Dermaga Jagoh. Setelah shalat di musala pelabuhan, kami langsung ke kapal yang terbakar. Kerusakan hanya di bagian atas. Kapal itu merupakan kapal Ro-Ro penyeberangan antara Pulau Lingga dan Pulau Singkep. Yang bisa mengangkut kendaraan dan penumpang. Sejak kejadian itu kapal berhenti beroperasi. Tak ada Ro-Ro pengganti. Kapal itu hanya satu-satunya Ro-Ro disitu. Ada kapal penumpang kecil, tapi tak bisa memuat kendaraan. Tarifnya pun lebih mahal. Padahal Ro-Ro itu  pilihan utama masyarakat Singkep.

Selesai memeriksa kapal kami langsung ke Kota Singkep. Bersiap untuk buka puasa. Perjalanan dari Jagoh ke Singkep lumayan jauh. Sekitar 40 menit. Menyusuri pantai barat Pulau Singkep. Pulau ini merupakan penghasil karet. Ada sedikit cengkeh. Duren juga ada dan sering dibawa ke Batam. Lebih menguntungkan jual disana. Aspal jalan dari Jagoh ke pusat kota nampak mulus. Terlihat perkampungan penduduk sepanjang jalan. Selain berkebun, masyarakat Singkep banyak bekerja sebagai nelayan. Dari jauh memandang ke tengah laut banyak kelong (bagan) tempat memelihara ikan. Kami buka puasa di warung seberang kantor pelabuhan. Setelah itu kami salat Magrib. Lalu mulai mewawancarai awak kapal. Wawancara itu sampai tengah malam. Kami memang harus menyelesaikannya malam ini. Mencari tahu semuanya. Sebab esok tak ada waktu lagi. Kapal ferry ke Batam pukul 08.30. Dan Aleik sudah pesan pesawat ke Jakarta sore harinya.

Selesai wawancara kami menunggu pemilik kapal di warung seberang menyelesaikan beberapa administrasi mereka. Aku tak tertarik makanan di warung itu. Sate ayam buka puasa tadi tidak habis. Tak ada menu cepat yang ingin aku coba. Dari situ kami langsung kembali ke hotel. Aleik dan orang-orang perusahaan akan ke pemandian air panas, mereka ingin berendam hingga waktu sahur. Entah mengapa aku tak begitu tertarik, mungkin karena kelelahan. Lokasi kolam air panas hanya 3 kilo meter dari pusat kota. Pemandian itu buka hingga malam. Aleik akhirnya pergi ke pemandian sedangkan Aku memilih mandi dan pergi mencari makan keluar. Kutanya penjaga hotel warung makan terdekat. Aku berjalan kaki mencoba keberuntungan mencari warung makan yang masih buka atau sekedar warung kopi. Dini hari itu hujan gerimis. Dari belakangku seseorang berteriak sambil mengendarai motor pelat merah. "Saya antar saja, Pak. Jauh soalnya". Pemuda hotel yang kutanyai tadi menawarkan bantuan.

Warung pertama yang kami datangi masih buka tetapi makanannya sudah habis dan sudah akan tutup. Pemuda hotel itu menenangkanku. "Di sebelah sana masih ada warung" katanya. Aku menurut saja. Aku diantarkan ke warung makan sederhana oleh pemuda hotel itu. Terlihat masih banyak lauk terpajang di etalase warung. Kupilih menu ayam goreng. Kutawarkan pemuda itu memesan makan juga. Dia menolak. Nama pemuda itu Jujur. Ia ingin jadi pelaut. Baru kerja di hotel itu setengah tahun. Ia anak ke delapan dari sembilan saudara. Abangnya ada di Jakarta. Bekerja di kapal. Mungkin karena itu ia juga mau jadi pelaut. Ia lulusan SMA. Ayahnya seorang syahbandar pulau kecil di seberang Dabo. Kuceritakan pengalamanku jadi pelaut. Kucatat nomor teleponnya. Kusarankan ia mengikuti diklat pelaut gratis.

Pulau Singkep ukurannya hampir sebesar Singapura. Hutannya masih lebat. Selain perkebunan dan hasil laut. Penduduk di sana juga menambang timah. Tanah kuning pulau ini mengingatkanku pada Kijang yang penuh dengan bauksit. Dan Bangka dengan timahnya. Tapi di Dabo ini tambangnya tidak besar. Di perjalanan kulihat tiga kapal keruk sedang sandar. Kapal itu mengeruk dasar laut yang mengandung timah.

Selesai makan dan membungkus makanan untuk sahur dan untuk Jujur, kami berdua pulang. Hujan rintik-rintik masih turun. Aku mengkhawatirkan cuaca esok pagi. Sesampai di hotel kulihat Aleik dan orang-orang perusahaan asyik mengobrol di lobi. Rupanya ada pohon tumbang di tengah jalan. Mobil mereka tak bisa lewat. Impian berendam di air panas pupus malam itu.

Keesokan paginya pukul 06.00 kami bersiap ke pelabuhan. Sampai di Pelabuhan Jagoh ternyata kapal ke Batam berangkat pukul 08.30. Kapalnya sama dengan kapal kami ke Dabo. Kapal itu harus bermalam di dermaga seberang karena dermaga di Jagoh pagi-pagi sudah disandari kapal lain dari Tanjungpinang. Meski gelombang saat pulang sedikit lebih tinggi dibanding saat datang, Aku paksakan mataku terpejam, istirahat karena kelelahan. Nanti lain kali datang ke Dabo, ingin kucoba berendam di air panasnya.

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...