Minggu, 03 Juni 2018

Pertama Kali Di Dabo


"Ok, bareng aku". Itu WhatsApp Aleik kepadaku saat ada tawaran pemeriksaan kapal terbakar di grup investigator sesaat setelah sahur. Saat itu naluri keingintahuanku mengenai kebakaran sedang tinggi. Maklum dua minggu yang lalu aku baru pulang dari Banyuwangi, juga memeriksa kapal terbakar. Aku menyatakan siap ikut.

Kami berangkat siang. Jadwal penerbangan hari itu ke Batam kesiangan. Karena kapal dari Batam ke Dabo pukul 10.30. Kalaupun harus berangkat pagi-pagi pun kami belum siap. Seperti biasa, masalah administrasi kantor. Sebenarnya ada pesawat Susi Air ke Dabo dari Pekanbaru dan Jambi. Cuma penerbangan itu tidak setiap hari. Aleik juga tak mau naik itu. Terlalu ekstrem buatnya. Pagi itu aku langsung ke kantor dengan membawa perlengkapan untuk mengambil peralatan dan surat menyurat.
Aku dan Aleik berangkat ke Bandara Soetta pukul 09.00. Kami ke Batam dulu. Ke kantor pemilik kapal itu. Di pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur.

Tiba di Batam kami dijemput Alwi, kebetulan minggu itu ia pulang kampung. Izin rutin. Kami langsung ke Telaga Punggur mencari informasi kapal feri ke Dabo. Benar saja, feri ke Dabo cuma sekali sehari. Berangkat pukul 10.30. Ada juga kapal ro-ro dari Batam ke Dabo. Tapi hanya hari Jumat dan Selasa. Waktu tempuhnya pun 12 jam. Terlalu lama dibanding feri yang hanya 4 jam. Terlalu lama di jalan jika harus naik feri..

Hari itu kami putuskan menginap dulu di Batam. Di kawasan Nagoya. Kami berbuka puasa di warung sup ikan Yonkee. Lalu shalat di masjid besar Jabal Arafah dekat hotel kami. Yang salat tarawihnya 8 rakaat. Bacaan imamnya khusu' dan merdu. Masjidnya pun bagus, aku dibuat kagum. Desainnya juga kompak. Tidak seperti Terminal 3 Soetta yang panjang itu, yang tiap jalan ke gate ujungnya selalu kumaki dalam hati. Masjid itu dibangun oleh Asman Abnur tahun 2010. Dia orang Padang dan tinggal di Batam. Pengusaha sekaligus politisi Batam. Pernah jadi Walikota Batam dan anggota dewan. Ayahnya seorang pengusaha emas. Asman pernah menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RB.

Keesokan harinya kami berangkat pukul 08.00 dari hotel. Sampai di Telaga Punggur kami harus menunggu lagi. Kapal Ocenana 3 yang akan mengantarkan kami ke Dabo belum tiba. Pukul 10.40 kapal kami siap dan langsung berangkat. Kapalnya dari aluminium. Bagus dan nyaman. Penumpang agak penuh saat itu.Cuaca pagi menjelang siang cukup cerah. Kapal melaju kencang hingga 20 knot. Sepanjang perjalanan sinyal telepon hilang timbul. Aku memilih tidur sepanjang perjalanan. Pukul 14.30 kapal tiba di Dermaga Jagoh. Setelah shalat di musala pelabuhan, kami langsung ke kapal yang terbakar. Kerusakan hanya di bagian atas. Kapal itu merupakan kapal Ro-Ro penyeberangan antara Pulau Lingga dan Pulau Singkep. Yang bisa mengangkut kendaraan dan penumpang. Sejak kejadian itu kapal berhenti beroperasi. Tak ada Ro-Ro pengganti. Kapal itu hanya satu-satunya Ro-Ro disitu. Ada kapal penumpang kecil, tapi tak bisa memuat kendaraan. Tarifnya pun lebih mahal. Padahal Ro-Ro itu  pilihan utama masyarakat Singkep.

Selesai memeriksa kapal kami langsung ke Kota Singkep. Bersiap untuk buka puasa. Perjalanan dari Jagoh ke Singkep lumayan jauh. Sekitar 40 menit. Menyusuri pantai barat Pulau Singkep. Pulau ini merupakan penghasil karet. Ada sedikit cengkeh. Duren juga ada dan sering dibawa ke Batam. Lebih menguntungkan jual disana. Aspal jalan dari Jagoh ke pusat kota nampak mulus. Terlihat perkampungan penduduk sepanjang jalan. Selain berkebun, masyarakat Singkep banyak bekerja sebagai nelayan. Dari jauh memandang ke tengah laut banyak kelong (bagan) tempat memelihara ikan. Kami buka puasa di warung seberang kantor pelabuhan. Setelah itu kami salat Magrib. Lalu mulai mewawancarai awak kapal. Wawancara itu sampai tengah malam. Kami memang harus menyelesaikannya malam ini. Mencari tahu semuanya. Sebab esok tak ada waktu lagi. Kapal ferry ke Batam pukul 08.30. Dan Aleik sudah pesan pesawat ke Jakarta sore harinya.

Selesai wawancara kami menunggu pemilik kapal di warung seberang menyelesaikan beberapa administrasi mereka. Aku tak tertarik makanan di warung itu. Sate ayam buka puasa tadi tidak habis. Tak ada menu cepat yang ingin aku coba. Dari situ kami langsung kembali ke hotel. Aleik dan orang-orang perusahaan akan ke pemandian air panas, mereka ingin berendam hingga waktu sahur. Entah mengapa aku tak begitu tertarik, mungkin karena kelelahan. Lokasi kolam air panas hanya 3 kilo meter dari pusat kota. Pemandian itu buka hingga malam. Aleik akhirnya pergi ke pemandian sedangkan Aku memilih mandi dan pergi mencari makan keluar. Kutanya penjaga hotel warung makan terdekat. Aku berjalan kaki mencoba keberuntungan mencari warung makan yang masih buka atau sekedar warung kopi. Dini hari itu hujan gerimis. Dari belakangku seseorang berteriak sambil mengendarai motor pelat merah. "Saya antar saja, Pak. Jauh soalnya". Pemuda hotel yang kutanyai tadi menawarkan bantuan.

Warung pertama yang kami datangi masih buka tetapi makanannya sudah habis dan sudah akan tutup. Pemuda hotel itu menenangkanku. "Di sebelah sana masih ada warung" katanya. Aku menurut saja. Aku diantarkan ke warung makan sederhana oleh pemuda hotel itu. Terlihat masih banyak lauk terpajang di etalase warung. Kupilih menu ayam goreng. Kutawarkan pemuda itu memesan makan juga. Dia menolak. Nama pemuda itu Jujur. Ia ingin jadi pelaut. Baru kerja di hotel itu setengah tahun. Ia anak ke delapan dari sembilan saudara. Abangnya ada di Jakarta. Bekerja di kapal. Mungkin karena itu ia juga mau jadi pelaut. Ia lulusan SMA. Ayahnya seorang syahbandar pulau kecil di seberang Dabo. Kuceritakan pengalamanku jadi pelaut. Kucatat nomor teleponnya. Kusarankan ia mengikuti diklat pelaut gratis.

Pulau Singkep ukurannya hampir sebesar Singapura. Hutannya masih lebat. Selain perkebunan dan hasil laut. Penduduk di sana juga menambang timah. Tanah kuning pulau ini mengingatkanku pada Kijang yang penuh dengan bauksit. Dan Bangka dengan timahnya. Tapi di Dabo ini tambangnya tidak besar. Di perjalanan kulihat tiga kapal keruk sedang sandar. Kapal itu mengeruk dasar laut yang mengandung timah.

Selesai makan dan membungkus makanan untuk sahur dan untuk Jujur, kami berdua pulang. Hujan rintik-rintik masih turun. Aku mengkhawatirkan cuaca esok pagi. Sesampai di hotel kulihat Aleik dan orang-orang perusahaan asyik mengobrol di lobi. Rupanya ada pohon tumbang di tengah jalan. Mobil mereka tak bisa lewat. Impian berendam di air panas pupus malam itu.

Keesokan paginya pukul 06.00 kami bersiap ke pelabuhan. Sampai di Pelabuhan Jagoh ternyata kapal ke Batam berangkat pukul 08.30. Kapalnya sama dengan kapal kami ke Dabo. Kapal itu harus bermalam di dermaga seberang karena dermaga di Jagoh pagi-pagi sudah disandari kapal lain dari Tanjungpinang. Meski gelombang saat pulang sedikit lebih tinggi dibanding saat datang, Aku paksakan mataku terpejam, istirahat karena kelelahan. Nanti lain kali datang ke Dabo, ingin kucoba berendam di air panasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...