Rabu, 29 Mei 2019

Ternyata Selayar Itu...




Kali ini saya ke Selayar. Sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan. Selayar merupakan Pulau memanjang di selatan Sulawesi yang berada di antara Laut Jawa dan Laut Flores. Dari Makassar saya menggunakan jalan darat lalu terus ke Bira untuk naik feri. Meski ada penerbangan dari Makassar ke Selayar, jalan darat lebih menarik. Waktu tempuh jalan darat ke Pelabuhan Bira di Bulukumba sekitar 4,5 jam. Dari Makassar mobil berangkat subuh melewati pesisir selatan mulai dari Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan terakhir Bulukumba.

Di Jeneponto saya melihat belasan kincir angin pembangkit listrik berputar-putar seperti di luar negeri. Di Bantaeng saya melihat kota sederhana yang tertata dengan baik. Nurdin Abdullah Bupati sebelumnya. Sekarang naik pangkat jadi Gubernur Sulsel. Mobil tiba sekitar pukul 09.00 WITA. Kapal feri ro-ro Balibo telah siap pagi itu. Ratusan penumpang, belasan sepeda motor, dan beberapa mobil serta truk dan bus siap naik ke kapal pagi itu. Suasana ramai. Mobil pengantar penumpang berhenti hingga depan kapal. Menurunkan penumpang dan barang bawaan. Mobil itu lalu parkir di tepi dermaga. Menunggu penumpang dari Selayar. Para penumpang kapal pagi itu datang dari pelosok Sulawesi.

Kapal kami meninggalkan Pelabuhan Bira. Melaju dengan kecepatan 8 knot. Dari kejauhan nampak dinding karang tepi Pulau Selayar. Suasana laut pagi itu tenang, cuaca pun cerah. Dua jam pelayaran, kapal tiba di Selayar. Di Pelabuhan Pamatata. Dari pelabuhan ke pusat kota Selayar di Benteng sekitar satu jam. Sejak dari pelabuhan saya melihat tanah karang. Kepulauan ini terbentuk dari pertemuan gunung muda. Karang-karang yang lapuk menjadi tanah yang subur. Karang-karang keras seukuran kepala disusun memanjang setinggi 1 meter. Ditumpuk begitu saja menjadi pagar-pagar penanda lahan. Sepanjang perjalanan di kanan dan kiri dipenuhi pohon kelapa. Kebun kelapa yang tingginya hingga belasan meter. Menjulang menggapai sinar surya. Puas melihatnya. Selayar salah satu daerah penghasil kopra. Kelapa-kelapa dari Selayar diangkut dengan truk menyeberang ke Sulawesi.

Karena pulau ini berada di antara dua laut, maka tak heran di sepanjang pantai dipenuhi sampah plastik. Ribuan mungkin jutaan gelas dan sampah plastik. Terbawa angin barat dan timur. Terdampar di Selayar. Seolah pulau penampung sampah di laut. Tak ada yang memunguti plastik-plastik itu. Mobil pengantar berhenti di Hotel Raihan. Yang sederhana dan bagus. Sepanjang perjalanan tadi saya kehilangan sinyal ponsel. Kalau pun ada hanya jaringan GPRS. Saya diajak ke Pantai Sunari untuk berbuka puasa disana. Sunari Beach merupakan resort kecil yang dimiliki oleh Pak Eka. Dia asli Bali yang merantau dan menikah dengan wanita Selayar. Lalu membuka resort di tepi pantai barat Selayar. Bagus untuk melihat sunset. Saya melihat 3 cottage sederhana di tepi pantai. Malam itu saya disuguhi ikan bakar. Rasanya manis sekali. Segar. Dihidangkan pula segelas kelapa muda Selayar yang manis. Ditemani asamnya cerita politik di Kabupaten Selayar. Siapa sanggup jual pasti dibeli.

Cottage di Sunari Beach
Ada juga orang Selayar yang mencoba membuka resort di tepi pantai seperti punya Pak Eka. Namun kebanyakan mati suri tak terurus. Mata pencarian masyarakat Selayar nelayan dan petani. Kelapa, coklat, dan vanili banyak ditanam.

Setelah kembali ke hotel dan membersihkan diri. Saya diajak menikmati saraba di tepi pantai Benteng. Saraba merupakan minuman jahe khas Sulawesi. Seperti bajigur atau bandrex. Ditemani goreng pisang dan ubi dengan sambal. Sungguh nikmat.

Selasa, 07 Mei 2019

Sekadau


Sekadau itu lima jam dari Pontianak, tapi jalanannya bagus!. Itu informasi awal yang kami terima. Kami harus ke sana. Ke Kabupaten Sekadau. Ada tugas baru. Kami pilih penerbangan pagi. Tiba di Pontianak kami sudah dijemput. Mobil penumpang penuh barang waktu itu. Sampai-sampai per-nya mentok. Setelah mampir makan siang, perjalanan ke Sekadau kami mulai. Saya berusaha memejamkan mata. Sudah ngantuk karena di pesawat tadi tidak tidur. Sempat khawatir masalah transportasi ke Sekadau

Perjalanan 5-6 jam ke Sekadau sudah bisa saya bayangkan. Belum lama saya ke Bontang dari Balikpapan. Waktu tempuhnya hampir sama. Cuma kali ini lebih banyak jalan datar. Setelah keluar dari Pontianak, saya mencoba memperhatikan sepanjang jalan. Sepi, perkampungan juga jarang. Hanya ada rumah warga yang dibangun saling berjauhan. Tidak ada listrik. Sepanjang jalan beberapa kali berpapasan dengan truk pengangkut sawit. Memang daerah Kalimantan Barat ini penghasil sawit dan karet. Tampak sebuah bukit diratakan untuk diambil tanahnya guna menimbun dataran rendah di pinggir jalan. Memang di sisi sepanjang jalan hanya dataran rendah, mungkin gambut. Supir kami mengatakan, jalanan yang kami lewati ini baru diperbaiki. Kualitasnya lumayan. Rata-rata mobil melaju di kecepatan 90 km/jam. Telepon seluler saya simpan, sinyal di sepanjang jalan hilang.

Sore hari kami berhenti sejenak di simpang Sanggau. Saat itu turun hujan. Kami melanjutkan perjalanan yang masih separuh lagi meski hujan masih deras sebab kalau tidak kami akan kemalaman di jalan. Sepanjang perjalanan sisa itu saya mencoba untuk memejamkan mata. Sekitar pukul 19.30 WIB kami tiba di Sekadau. Kami mampir shalat. Selesai shalat kami putuskan menuju lokasi tugas. Masih sekitar setengah jam lagi dari Sekadau. Setelah sempat tersesat karena kehilangan petunjuk arah, kami sampai di Sungai Asam. Setelah berdiskusi sejenak kami putuskan untuk kembali besok pagi.

Kelotok pengangkut penumpang

Kelotok di Sungai Asam
Esok hari kami kembali ke Sungai Asam. Di sana ada penyeberangan Sungai Asam - Sunyat di Sungai Kapuas. Sungai Asam dan Sunyat adalah nama daerah di pinggiran Sungai Kapuas. Di Sunyat itu ada tiga kecamatan yang jika kendaraan akan ke Sekadau harus memutar jauh menerobos kebun sawit. Lewat penyeberangan situ hanya 2 menit. Lebih cepat dan hemat. Dulu telah lama ada tongkang atau ponton besi yang dimiliki warga lokal sebagai sarana menyeberang. Ponton tanpa penggerak tersebut didorong menggunakan kelotok atau perahu. Sekali angkut bisa enam truk. tapi kini ponton tersebut tidak beroperasi lagi dan telah digantikan oleh kapal ro-ro. Ponton itu dinilai kurang aman. Untuk penyeberangan orang dan sepeda motor menggunakan kelotok kecil. Dua pelabuhan tersebut dibangun oleh pemerintah pusat namun kondisinya kurang terawat.

Sekadau merupakan sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang dibelah oleh Sungai Kapuas. Lintas Penyeberangan Sungai Asam-Sunyat merupakan andalan transportasi warga di sisi utara yang ingin ke pusat Sekadau atau ke Pontianak. Para pengusaha di Sekadau sangat terbantu dengan penyeberangan Sungai Asam-Sunyat. Banyak truk mengangkut buah sawit dan karet menggunakan penyeberangan itu. Tak mau mereka menghabiskan biaya memutari hutan sawit.




Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...