Kamis, 22 November 2018

Babe Servis Kipas Angin

Belum genap setahun. Kipas di ruang tengah itu kini rusak, tak berputar. Dua minggu sebelumnya tanda-tanda kerusakan itu sudah muncul. Pemutar didalamnya patah dan putaran kipasnya mulai tersendat. Kipas itu kubawa ke tukang servis langganan. Sayang kiosnya sekarang sudah tutup. Aku mampir di kios sebelahnya, tempat servis peralatan kerja. Kutanya apakah bisa memperbaiki kipas, lelaki muda di tempat servis itu menjawab tak bisa. "Itu di seberang jalan raya ada!" katanya mencoba meyakinkanku.

Aku langsung bergegas ke seberang jalan raya. Dari seberang jalan yang terhalang rerimbunan pohon kulihat ada kios memajang berbagai peralatan listrik. Kios servis itu sudah buka pagi itu. Kupacu sepeda motorku lalu memutar di jalan dua jalur menuju seberang jalan. Saat sampai di sana kuperhatikan kios servis itu memajang kipas angin, blender, mixer, dan di dalamnya tersusun bebragai suku cadang. Kios itu kosong, kusapu pandangan mencari anak muda si tukang servis di dalam kios berukuran 2,5 x 2,5 meter itu. Hanya ada lelaki tua yang sedang sibuk di warung makan yang masih tutup tepat di sebelah kios.

"Mau apa?"tanyanya. Kupastikan lelaki tua itu tukang servisnya. "Bisa betulin kipas angin?" tanyaku ragu. "Bisa!" jawabnya pelan. Kuambil kipas angin dari motorku. Kutaruh di atas bangku kayu di hadapan lelaki tua itu. Kuberitahukan kerusakannya, patahan di dalamnya. Dengan percaya diri dia katakan bisa memperbaikinya. Lelaki tua itu menunjuk kipas dan patahannya. "Ini 50, ini 25, semua 75" jelasnya menunjukkan tarif servisnya. Aku masih bengong bertanya dalam hati. Nih orang main langsung kasih harga aja, diperiksa dulu kek apa rusaknya. "Sore ya diambil" sahutnya lagi dengan akses betawinya sembari aku menerka-nerka apa benar dia bisa memperbaikinya.

Setahuku menggulung ulang lilitan dinamo itu paling tidak butuh 1 harian. Tapi lagak lelaki tua seperti sudah ahli. Memang banyak peralatan listrik di kiosnya saat itu. Kusapu pandanganku di dalam kiosnya mencari gulungan motor listrik yang mungkin sedang dikerjakan, untuk meyakinkanku ia bisa memperbaikinya, tapi tak ketemu. Ah mungkin ia kerjakan di rumahnya bersama orang yang ahli. Baiklah saya percaya, mungkin lelaki tua itu hanya penjaga kios. "Sore tutup jam berapa?" tanyaku. "Habis ashar lah" jawabnya. "Kalau minggu buka?" tanyaku lagi khawatir aku tak terlewat sore nanti. "Buka terus" jawabnya meyakinkanku.

Habis ashar aku kembali ke kios itu untuk mengambil kipasnya. Itu sudah hampir pukul empat sore. Cuaca mendung seakan hendak hujan. Kios itu sudah tutup ketika aku tiba.  Pintunya digembok dari luar. Kupastikan benar-benar telah tutup dan lelaki tua itu telah tak disitu lalu aku pulang. "Mungkin ia sedang ada urusan" pikirku. Keseokan pagi aku kembali. Kipasku diletakkan di meja kerjanya. Dihidupkannya. Kipas itu hidup. Aku tes dengan tombol kecepatan berbeda dan bekerja bagus. Aku puas meski tetap ragu bagaimana ia memperbaikinya. Ah biarkan saja. yang penting kipasku hidup kembali. Maaf Babe aku meragukanmu.

Senin, 11 Juni 2018

Kunjungan ke NSW Crashlab dan Menghadiri TSF 2018


Seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia dan Australia melakukan pertemuan tahunan membahas masalah keselamatan transportasi. Sejak kejadian Garuda Indonesia tergelincir di Yogyakarta tahun 2007 yang menyebabkan banyak warga Australia menjadi korban, pemerintah Australia merasa "perlu" membantu Indonesia, memperbaiki tingkat keselamatan transportasi di negeri Nella Kharisma itu. Bertempat di Stamford Plaza Melbourne pertemuan Transport Safety Forum (TSF) itu dilaksanakan pada 17-18 April 2018.


KNKT diwakili oleh Ketua KNKT Dr. Soerjanto Tjahjono di pertemuan tersebut. Namun sebelum hadir di pertemuan tersebut, Ketua KNKT bersama perwakilan dari Balai Teknologi Transportasi Darat Heri Prabowo dan Saiful Jihad melakukan kunjungan ke Crashlab di New South Wales (NSW) pada tanggal 16 April 2018. Dalam kunjungan tersebut, delegasi Indonesia didampingi oleh Manager International ATSB, Richard Batt.

Dari Pullman Airport Sydney hotel bintang lima yang sarapannya minimalis itu, kami berangkat menuju NSW Crashlab pukul 0745 LT. Waktu tempuh dari hotel menuju crashlab sekitar 1 jam. Letak laboratorium itu jauh di pinggiran kota Sydney. Batt memesan minivan taxi untuk kami. Pengemudinya keturunan timur tengah. Selagi mengemudi Saya dengar ia menghubungi seseorang dengan bahasa arab.

Ross menjelaskan tentang Crashlab
Kunjungan ini dilakukan dalam rangka pengembangan fungsi BTTD. Ketua KNKT mengharapkan bantuan ATSB untuk mendorong Crashlab membantu pengembangan BTTD. Biar Indonesia punya laboratorium uji tabrak yang keren. Yang periksanya tidak hanya lampu dan rem. Tapi juga airbag, sabuk keselamatan, konstruksi dsb. Biar produsen tidak sembarangan bikin mobil kaleng kerupuk.

Di Crashlab itu kami disambut oleh Ross Dal Nevo, dia Manajer Crashlab. Dia pria paruh baya yang bersahabat. Kami diajak masuk ke ruang pertemuan. Di situ dia pamer laboratoriumnya. Ditunjukkannya video uji-uji kendaraan, yang biasa dilihat di youtube. Mereka bisa melakukan semuanya. Mulai uji helm, safety belt, baby car seat, safety harness, hingga yang paling keren, uji tabrak kendaraan. Di laboratorium itu mereka memberi bintang pada kendaraan yang mereka uji. Kalau kelas mobil sejuta umat atau selevelnya di negeri Nella Kharisma itu cuma dikasih bintang 1, paling tinggi dikasih 2.

Crashlab mereka itu punya lapangan uji indoor dan outdoor. Yang di indoor kami ga boleh foto-foto. Rahasia katanya. Pas kami disana sempat menyaksikan uji baby car seat di dalam  ruang uji khusus. Laboratorium ujinya berukuran 5 x 15 meter. Kursi bayi itu ditarik lalu dihentikan secara tiba-tiba seolah skenario tubrukan atau ngerem mendadak. Di dalam kursi itu didudukkan dummy (boneka uji) bayi. Kata Ross, persiapannya butuh waktu bulanan, tapi tesnya hanya hitungan belasan menit. Mereka banyak gunakan kamera ber-resolusi tinggi dari berbagi sudut untuk merekam proses pengujian. Lalu dianalisa. Hasilnya diberikan ke klien.

Lapangan Uji Outdoor

Ruang Uji Indoor
Boneka uji mereka itu harganya mahal, miliaran, namun itu bisa dipakai berulang-ulang, hanya perlu dikalibrasi secara berkala. Biaya operasi mereka dari pemerintah negara bagian dan juga dari pelanggan mereka yang menguji produknya. Jalan-jalan di Crashlab berakhir siang itu, Ross ada tamu lain. Dia berjanji akan membantu Indonesia mengembangkan Crashlab jika diminta. Apalagi tersedia lahan yang luas di Bekasi situ, mau bikin laboratorium uji tabrak kereta juga bisa. Cuma masalahnya tidak boleh dengan model Balai seperti sekarang ini. Para pegawainya harus tetap di laboratorium, tak boleh dimutasi kemana-mana. Mereka harus membangun dan mengembangkan laboratoriumnya.

Pukul 13.00 LT lewat 1 jam dari jadwal yang seharusnya, kami kembali ke hotel, dengan van dan supir yang sama. Batt sebelumnya janjian dengan supir taxi itu untuk menjemput kami. Sampai di hotel, Saya, Pak Heri, dan Saiful pamit ke Pak Soer ingin ke kota melihat Harbour Bridge dan Opera House. Dari hotel kami jalan kaki ke Stasiun Mascot. Dari situ kami turun di Stasiun Central. Sampai malam kami di pinggir pelabuhan Sydney itu.

Setelah sarapan pagi, kami bersiap di lobi hotel. Kami harus ke bandara Sydney menuju Melbourne.

Delegasi Indonesia dan Australia dalam TSF

Menghabiskan waktu sore di pingir pelabuha Sydney

Pesawat Challanger milik AMSA



Minggu, 03 Juni 2018

Pertama Kali Di Dabo


"Ok, bareng aku". Itu WhatsApp Aleik kepadaku saat ada tawaran pemeriksaan kapal terbakar di grup investigator sesaat setelah sahur. Saat itu naluri keingintahuanku mengenai kebakaran sedang tinggi. Maklum dua minggu yang lalu aku baru pulang dari Banyuwangi, juga memeriksa kapal terbakar. Aku menyatakan siap ikut.

Kami berangkat siang. Jadwal penerbangan hari itu ke Batam kesiangan. Karena kapal dari Batam ke Dabo pukul 10.30. Kalaupun harus berangkat pagi-pagi pun kami belum siap. Seperti biasa, masalah administrasi kantor. Sebenarnya ada pesawat Susi Air ke Dabo dari Pekanbaru dan Jambi. Cuma penerbangan itu tidak setiap hari. Aleik juga tak mau naik itu. Terlalu ekstrem buatnya. Pagi itu aku langsung ke kantor dengan membawa perlengkapan untuk mengambil peralatan dan surat menyurat.
Aku dan Aleik berangkat ke Bandara Soetta pukul 09.00. Kami ke Batam dulu. Ke kantor pemilik kapal itu. Di pelabuhan penyeberangan Telaga Punggur.

Tiba di Batam kami dijemput Alwi, kebetulan minggu itu ia pulang kampung. Izin rutin. Kami langsung ke Telaga Punggur mencari informasi kapal feri ke Dabo. Benar saja, feri ke Dabo cuma sekali sehari. Berangkat pukul 10.30. Ada juga kapal ro-ro dari Batam ke Dabo. Tapi hanya hari Jumat dan Selasa. Waktu tempuhnya pun 12 jam. Terlalu lama dibanding feri yang hanya 4 jam. Terlalu lama di jalan jika harus naik feri..

Hari itu kami putuskan menginap dulu di Batam. Di kawasan Nagoya. Kami berbuka puasa di warung sup ikan Yonkee. Lalu shalat di masjid besar Jabal Arafah dekat hotel kami. Yang salat tarawihnya 8 rakaat. Bacaan imamnya khusu' dan merdu. Masjidnya pun bagus, aku dibuat kagum. Desainnya juga kompak. Tidak seperti Terminal 3 Soetta yang panjang itu, yang tiap jalan ke gate ujungnya selalu kumaki dalam hati. Masjid itu dibangun oleh Asman Abnur tahun 2010. Dia orang Padang dan tinggal di Batam. Pengusaha sekaligus politisi Batam. Pernah jadi Walikota Batam dan anggota dewan. Ayahnya seorang pengusaha emas. Asman pernah menjabat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RB.

Keesokan harinya kami berangkat pukul 08.00 dari hotel. Sampai di Telaga Punggur kami harus menunggu lagi. Kapal Ocenana 3 yang akan mengantarkan kami ke Dabo belum tiba. Pukul 10.40 kapal kami siap dan langsung berangkat. Kapalnya dari aluminium. Bagus dan nyaman. Penumpang agak penuh saat itu.Cuaca pagi menjelang siang cukup cerah. Kapal melaju kencang hingga 20 knot. Sepanjang perjalanan sinyal telepon hilang timbul. Aku memilih tidur sepanjang perjalanan. Pukul 14.30 kapal tiba di Dermaga Jagoh. Setelah shalat di musala pelabuhan, kami langsung ke kapal yang terbakar. Kerusakan hanya di bagian atas. Kapal itu merupakan kapal Ro-Ro penyeberangan antara Pulau Lingga dan Pulau Singkep. Yang bisa mengangkut kendaraan dan penumpang. Sejak kejadian itu kapal berhenti beroperasi. Tak ada Ro-Ro pengganti. Kapal itu hanya satu-satunya Ro-Ro disitu. Ada kapal penumpang kecil, tapi tak bisa memuat kendaraan. Tarifnya pun lebih mahal. Padahal Ro-Ro itu  pilihan utama masyarakat Singkep.

Selesai memeriksa kapal kami langsung ke Kota Singkep. Bersiap untuk buka puasa. Perjalanan dari Jagoh ke Singkep lumayan jauh. Sekitar 40 menit. Menyusuri pantai barat Pulau Singkep. Pulau ini merupakan penghasil karet. Ada sedikit cengkeh. Duren juga ada dan sering dibawa ke Batam. Lebih menguntungkan jual disana. Aspal jalan dari Jagoh ke pusat kota nampak mulus. Terlihat perkampungan penduduk sepanjang jalan. Selain berkebun, masyarakat Singkep banyak bekerja sebagai nelayan. Dari jauh memandang ke tengah laut banyak kelong (bagan) tempat memelihara ikan. Kami buka puasa di warung seberang kantor pelabuhan. Setelah itu kami salat Magrib. Lalu mulai mewawancarai awak kapal. Wawancara itu sampai tengah malam. Kami memang harus menyelesaikannya malam ini. Mencari tahu semuanya. Sebab esok tak ada waktu lagi. Kapal ferry ke Batam pukul 08.30. Dan Aleik sudah pesan pesawat ke Jakarta sore harinya.

Selesai wawancara kami menunggu pemilik kapal di warung seberang menyelesaikan beberapa administrasi mereka. Aku tak tertarik makanan di warung itu. Sate ayam buka puasa tadi tidak habis. Tak ada menu cepat yang ingin aku coba. Dari situ kami langsung kembali ke hotel. Aleik dan orang-orang perusahaan akan ke pemandian air panas, mereka ingin berendam hingga waktu sahur. Entah mengapa aku tak begitu tertarik, mungkin karena kelelahan. Lokasi kolam air panas hanya 3 kilo meter dari pusat kota. Pemandian itu buka hingga malam. Aleik akhirnya pergi ke pemandian sedangkan Aku memilih mandi dan pergi mencari makan keluar. Kutanya penjaga hotel warung makan terdekat. Aku berjalan kaki mencoba keberuntungan mencari warung makan yang masih buka atau sekedar warung kopi. Dini hari itu hujan gerimis. Dari belakangku seseorang berteriak sambil mengendarai motor pelat merah. "Saya antar saja, Pak. Jauh soalnya". Pemuda hotel yang kutanyai tadi menawarkan bantuan.

Warung pertama yang kami datangi masih buka tetapi makanannya sudah habis dan sudah akan tutup. Pemuda hotel itu menenangkanku. "Di sebelah sana masih ada warung" katanya. Aku menurut saja. Aku diantarkan ke warung makan sederhana oleh pemuda hotel itu. Terlihat masih banyak lauk terpajang di etalase warung. Kupilih menu ayam goreng. Kutawarkan pemuda itu memesan makan juga. Dia menolak. Nama pemuda itu Jujur. Ia ingin jadi pelaut. Baru kerja di hotel itu setengah tahun. Ia anak ke delapan dari sembilan saudara. Abangnya ada di Jakarta. Bekerja di kapal. Mungkin karena itu ia juga mau jadi pelaut. Ia lulusan SMA. Ayahnya seorang syahbandar pulau kecil di seberang Dabo. Kuceritakan pengalamanku jadi pelaut. Kucatat nomor teleponnya. Kusarankan ia mengikuti diklat pelaut gratis.

Pulau Singkep ukurannya hampir sebesar Singapura. Hutannya masih lebat. Selain perkebunan dan hasil laut. Penduduk di sana juga menambang timah. Tanah kuning pulau ini mengingatkanku pada Kijang yang penuh dengan bauksit. Dan Bangka dengan timahnya. Tapi di Dabo ini tambangnya tidak besar. Di perjalanan kulihat tiga kapal keruk sedang sandar. Kapal itu mengeruk dasar laut yang mengandung timah.

Selesai makan dan membungkus makanan untuk sahur dan untuk Jujur, kami berdua pulang. Hujan rintik-rintik masih turun. Aku mengkhawatirkan cuaca esok pagi. Sesampai di hotel kulihat Aleik dan orang-orang perusahaan asyik mengobrol di lobi. Rupanya ada pohon tumbang di tengah jalan. Mobil mereka tak bisa lewat. Impian berendam di air panas pupus malam itu.

Keesokan paginya pukul 06.00 kami bersiap ke pelabuhan. Sampai di Pelabuhan Jagoh ternyata kapal ke Batam berangkat pukul 08.30. Kapalnya sama dengan kapal kami ke Dabo. Kapal itu harus bermalam di dermaga seberang karena dermaga di Jagoh pagi-pagi sudah disandari kapal lain dari Tanjungpinang. Meski gelombang saat pulang sedikit lebih tinggi dibanding saat datang, Aku paksakan mataku terpejam, istirahat karena kelelahan. Nanti lain kali datang ke Dabo, ingin kucoba berendam di air panasnya.

Senin, 23 April 2018

Kereta Layang, Kereta Bandara, Kereta Rel Listrik, Kereta Yang Penting Ada...

Gua baru pulang dari luar negeri, self check in dan self baggage handling sendiri di bandara. Sampai di Indonesia, top up kartu KRL gua mesti dibantu satpam. Bangke!
Sekali waktu saya ingin mencoba Kereta Bandara-KA Bandara. Saya sedang terburu-buru dari Soetta mengejar kelas sore di Bogor. Siang itu pilihan naik KRL di stasiun Kota saya urungkan. Saya lihat di maps, tol bandara macet. Jadilah ini kesempatan menjajal KA Bandara. Meski hanya sampai di Stasiun Sudirman Baru, saya bisa sambung dengan KRL dari Stasiun Sudirman.

Sebenarnya sudah lama saya ingin mencoba KA Bandara, cuma karena harga tiketnya sedikit mahal dibanding bus Damri dan juga saya selalu terburu-buru, makanya saya tak pernah mencobanya. KA Bandara dari berita yang saya baca dan sempat viral, belum jelas. Klo pun jelas, headway-nya masih terlalu lama, setengah jam. Tapi kali ini saya ingin mencobanya.

Dari Terminal 3, saya harus mengejar Kereta Layang-KA Layang yang sebentar lagi berangkat, telat sedikit saja akan ditinggal dan harus menunggu kereta berikutnya. Beberapa petugas mengatur penumpang yang akan turun dan naik, di depan pintu kereta diberi penghalang, petugas mendahulukan penumpang yang turun, setelah selesai penghalang dibuka, penumpang yang akan naik baru dipersilahkan masuk. Klo di Malaysia KLIA, kereta antar terminalnya memanfaatkan 2 sisi pintu kereta. Satu sisi untuk penumpang turun, dan sisi lainnya untuk penumpang naik, sehingga tak perlu petugas untuk mengatur naik turun penumpang. Setelah melewati stasiun Terminal 2, KA Layang selanjutnya berhenti di stasiun KA Bandara. Saya pun turun, tidak ada petunjuk yang jelas kemana saya harus menuju. Ada 3 petugas sekuriti berdiri mengarahkan penumpang. Saya tetap berjalan tanpa tahu menuju kemana. Saya mengikuti lelaki di depan saya. Saya rasa ia juga akan ke KA Bandara. Setelah turun ke lantai bawah. masih belum terlihat penunjuk yang jelas ke arah mana peron KA Bandara Kalaupun ada, desain dan penempatan sign-nya sungguh buruk sama buruknya seperti desain Terminal 3 Soekarno Hatta. Saya terus mengikuti lelaki tadi. Kami tiba di lobi ruang penumpang KA Bandara. terlihat lelaki tadi menuju ke meja informasi, mata saya segera mencari mesin tiket. Dapat. Itu ada di sebelah kiri. Saya langsung menuju mesin tiket. Mesin tiketnya sederhana. Tak terlihat jika mesin itu menerima uang tunai. Hanya ada perangkat EDC di panelnya.

Saya tanya petugas apakah kartu ATM bisa digunakan? Bisa katanya. Syukurlah. Saya pesan tiket. Cukup memasukkan no telepon dan pilih jam serta stasiun tujuan. Setelah itu saya menggesekkan kartu ATM di EDC. Tiket diprint. Selesai. Tiketnya hanya sehelai kertas tipis. Ada barcode-nya. Cukup mudah untuk orang seperti saya. Saya memerlukan waktu sekitar 1 - 2 menit untuk menyelesaikan proses tersebut. Lain lagi bagi orang yang kurang paham, mungkin lebih dari 3 menit, karena tulisan di layar ukurannya kecil, sehingga harus benar-benar teliti. Dari jadwal yang ada, KA Bandara berangkat tiap 30 menit. Saya langsung menuju ke gate masuk. Oleh petugas, saya belum diperbolehkan masuk, harus menunggu di ruang tunggu dulu. Tidak lama kereta datang, petugas memanggil penumpang yang akan naik. Penumpang menuju ke peron. Cukup ramai di ruang tunggu waktu itu. Namun tak semuanya langsung naik ke kereta. Mungkin mereka menunggu kereta berikutnya.

Untuk membuka gate, penumpang harus menggunakan tiket. Scan barcode di tiket di alat scan gate. Tralaaa gate terbuka. Ketika masuk, terdapat 2 peron di jalur KA Bandara, jika ada 2 kereta di stasiun penumpang akan bingung kereta mana yang berangkat duluan, mesti bertanya ke petugas. Peron KA ada 2 (klo ga salah). Lebar peron sekitar 2,5 meter. Karena tidak ada nomor tempat duduk dan nomor gerbong di tiket jadi bisa bebas pilih tempat duduk. Saya pilih di depan. Keretanya bersih. Separuh bangku di gerbong menghadap ke depan dan separuh lagi menghadap ke belakang. Saya pilih bangku di tengah. Saya pikir ruang kakinya luas ternyata tidak. Bangku tengah justru ruang kakinya sempit. Entah siapa yang mendesainnya, sungguh buruk pengaturan jarak tempat duduknya. Sandaran kursi bisa disesuaikan. Di bagian tengah kursi terdapat colokan USB. Di dalam gerbong terdapat papan informasi elektronik. Tujuan kereta, kecepatan dan suhu gerbong bisa dilihat disitu. KA Bandara siang itu sepi penumpang. Beberapa menit kemudian kereta berangkat. Satu gerbong mungkin hanya diisi 3 penumpang.

Dari Soetta ke Sudirman Baru memerlukan waktu tempuh sekitar 50 menit. Stasiun pemberhentian pertama adalah Stasiun Batu Ceper, disusul Duri, dan Sudirman Baru. Sebelumnya di benak saya bertanya jika naik kendaraan dai Jakarta ke Soetta hanya perlu waktu 40 menit di lalu lintas lancar. Tapi kereta bandara yang harusnya lebih cepat justru perlu waktu 50 menit. Ternyata jalur kereta dari Stasiun Bandara dan Batu Ceper tidak lurus, jalurnya berbelok-belok, makanya agak lama, belum lagi di Duri kereta berhenti agak lama, antri dengan kereta KRL.

Saya tiba di Stasiun Sudirman Baru tepat 50 menit dari keberangkatan. Penumpang harus menggunakan tiket untuk membuka gate keluar. Padahal tiket kertas tipis itu sudah saya lipat-lipat. Stasiun Sudirman dan Sudirman baru letaknya berbeda, penumpang harus jalan kaki sekitar 100 meter, menyusuri jalan di samping rel. Waktu itu saya membawa travel bag. Ada tangga dan turunan terbuat dari pelat yang sangat curam, maksudnya mungkin ingin memudahkan bagi penumpang yang membawa travel bag, tapi desainnya sungguh curam. Seperti tak punya niat. Yang penting ada.

Sampai di Stasiun Sudirman, desain tangganya tidak memudahkan penumpang yang membawa travel bag. Bahkan saya harus naik tangga membawa travel bag saya karena isi ulang tiket THB hanya bisa dilakukan di lantai atas stasiun. Sampai di mesin isi ulang, saya agak bingung, jika mesin isi ulang kartu Multitrip agak sederhana, mesin isi ulang kartu THB ukurannya 2 kali lebih besar, ada dispenser, ada slot kartu beberapa buah, ada tempat memasukkan uang kertas, pertama kali menggunakan mesin itu saya agak bingung, untung ada petugas satpam di dekat situ, ia mengajari saya mengisi ulang kartu THB. Menurut saya desain mesin itu sungguh buruk. Pemilihan warnanya norak, terlalu banyak aksesoris dan tulisan ga penting malah bikin bingung. Dari sekian banyak negara yang saya gunakan mesin tiket keretanya, mesin tiket kereta KRL ini paling tidak ramah digunakan.

Baiklah, setelah menggunakan KA Layang, KA Bandara, dan lanjut KRL di Sudirman berikut komentar saya.

  1. Desain Terminal 3 buruk, terlalu jauh berjalan kaki ke gate yang di ujung, (kan ada mobil golf) iya tapi itu tidak sustainable, penyinaran lampunya, colokan listriknya semua buruk. Hanya toiletnya yang bagus dan bakmi GM-nya. Eh lupa saya kan mau komentar keretanya bukan bandaranya. Tapi ga papa sekalian unek-unek saya.
  2. KA Layang. Untuk kereta ini penunjuk ke arah stasiunnya perlu ditambah, biar lebih mudah. Di stasiun belum ada papan informasi berapa lama kereta berikut akan datang. Saya harus bertanya ke petugas. Trus hilangkan saja itu petugas sekuriti pengatur naik turun, biar penumpang mandiri mengatur sendiri naik turun. Yang penting diberi sign yang jelas.
  3. Penunjuk di Stasiun Bandara perlu ditambah dan penempatannya mudah dilihat. Penunjuknya mungkin sudah ada, cuma penempatannya kurang pas. Sama seperti di atas, hilangkan saja petugas sekuriti pengarah penumpang.
  4. Lanjut ke KA Bandara, mesin tiketnya untuk sementara bolehlah, tapi beberapa tahun ke depan harus diganti ke mesin yang benar-benar mesin yang bagus, bukan alakadarnya. Harus bisa menerima uang tunai. Interfacenya sederhana dan jelas. 
  5. KA Bandara ini terlalu eksklusif, di stasiunnya ada ruang tunggunya karena headwaynya yang lama, jadi penumpang yang menunggu harus ditempatkan di lobi. Awalnya dulu ada nomor tempat duduknya, karena kapasitas angkutnya terbatas, di dalam gerbong juga ada nomor tempat duduknya, sekarang ga pakai nomor tempat duduk karena banyak bangku kosong. Padahal kalau dibuat model KRL mungkin banyak yang akan naik. Tak perlu ruang tunggu karena headwaynya sebentar. Tarifnya disesuaikan jarak tempuh. Sepertinya konsep KA Bandara sudah salah dari awal.
  6. Perpindahan dari Sudirman Baru ke Sudirman tidak ramah penumpang yang bawa travel bag. Trus, dimana-mana namanya Sudirman Baru, saya lihat di luar stasiun plang namanya Stasiun BNI City, ga pa pa sih, itu untuk meyakinkan orang kalau masih di Indonesia. Sering dibuat bingung sendiri.
  7. Mesin isi ulang kartu THB dari segi desain, interface, warna dan semuanya buruk. Ganti yang lebih modern dan canggih. Dulu waktu studi banding gimana sih, KAI?
  8. Oh ya terkait penunjuk arah (sign) yang desain dan penempatannya buruk di stasiun-stasiun tadi dan dibiarkan begitu hingga kini, saya tahu jawabannya. Karena para bos-bos dan pejabat-pejabatnya selalu diarahkan oleh pengawalnya jadi mereka ga perlu liat penunjuk arah. Salah sendiri penumpang ga bawa pengawal.
Demikian cerita dan komentar saya tentang kereta yang penting ada. Saatnya kembali menikmati sistem transportasi di Indonesia. Seperti biasa, kalau bisa dibuat susah kenapa dipermudah. 

Minggu, 04 Februari 2018

Tak ade Roti, Lendir pun jadilah

Kami melewati kawasan kawasan Jodoh. "Saya turun disini saja!" ujarku. "mau kemana?" tanya temanku. "Ngga, mau jalan-jalan aja" jawabku.

Turun dari mobil aku langsung berjalan menuju bangunan ruko-ruko tua. Kawasan ini agak sepi dibandingkan 15 tahun lalu pikirku. Di dalam deretan ruko-ruko tersebut ada pasar, namanya Pasar Jodoh. Dulu aku sering mampir kemari.

Tujuanku ke kawasan ini adalah mencari warung prata, roti khas Asia Selatan dengan kuah kari kambing yang lezat. Aku sering diajak kemari oleh Pak Tefur, ayah temanku. Kopi dan pratanya enak. kusisiri tiap blok ruko namun tak kutemukan. Seharusnya ada disini di antara pasar, restoran itu dulu dikelola oleh apek (panggilan orang Tionghoa), namun sepertinya sekarang sudah tutup. Benar sudah tutup, hanya kutemukan satu warung disitu, namun warung itu sepi, interiornya juga tidak sama, mungkin warung baru.

Kutinggalkan kawasan Jodoh. Kawasan ini sekarang sepi, perekonomian Batam sedang lesu beberapa tahun terakhir sejak harga minyak dunia jatuh. Bisnis di Batam sangat terkait dengan operasi minyak. Banyak galangan kapal di Batam yang berhenti beroperasi karena bisnis minyak yang suram. Aku berjalan menuju kawasan Nagoya, dulu aku pernah mampir menikmati kopi di salah satu ruko di kawasan ini. Lama ku mengingat lokasi kedai kop itu, kulihat di maps namun tak berhasil kutemukan.

Akhirnya kuputuskan ke kedai kopi  Harum Manis, ada pempek enak disana selain kopi. Kuputari deretan ruko kawasan Nagoya itu untuk memastikan aku tidak salah masuk. Akhirnya aku menemukan kedai kopi Harum Manis, pagi itu suasana sarapan pagi ramai seperti dulu. Kupesan satu Kopi-O tapi tak ada lagi penjual pempek disini. Kulihat menu yang terpampang di dinding di kedai itu, kutanya pelayan apakah ada roti disini? rupanya tidak ada. Kulihat di salah satu gerai ramai orang memesan mie lendir. Aku pernah makan mie itu sekali tapi lupa seperti apa rasanya.

Pagi itu meskipun sudah sarapan pagi di hotel, aku begitu menikmati aroma kopi dan nikmatnya mie lendir atau mie pekat orang menyebutnya. Bagi anda yang ingin mencoba, pergilah ke kedai kopi Harum Manis yang terletak di jalan komplek Bumi Indah, tidak jauh dari kedai Martabak har simpang 4 Nagoya.

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...