Selasa, 08 September 2020

ODOL Lagi

Isu ODOL muncul lagi. Agus Pambagio di media membahasnya. Memang Agus kerap membahas isu-isu publik. Entah kenapa kali ini over load over dimension-ODOL yang dibahas. Padahal ekonomi lagi lesu. Pergerakan truk berkurang. Mungkin akibat banyak kecelakaan yang disebabkan tabrak belakang truk. Tahukah Anda, ribuan truk di negara kita tidak dilengkapi dengan perisai belakang. Akibatnya saat truk tertabrak oleh kendaraan kecil dari belakang, kendaraan kecil itu masuk ke bokong truk. Sensor airbag yang ada di bagian depan kendaraan kecil tidak mendeteksi benturan. Parahnya lagi tabrakan merusak kabin pengemudi yang menyebabkan korban jiwa. Baru-baru ini Kementerian Perhubungan gencar menyosialisasikan pemasangan perisai belakang truk. Hasil investigasi KNKT menemukan truk yang tidak dilengkapi perisai belakang sangat berisiko merenggut nyawa dalam kecelakaan. 

Kembali ke ODOL tadi, Agus mengatakan itu terjadi karena sistem logistik Indonesia yang buruk. Salah satu penyebabnya adalah adanya uang preman yang harus dikeluarkan pengusaha angkutan. Sehingga mereka, para pengusaha itu memaksimalkan muatan yang diangkut truk. Ditambah lagi kondisi itu tidak pernah bisa diselesaikan. Saya menghubungi salah satu sopir truk angkutan antarkota untuk mendapatkan informasi tentang uang preman itu. Ia orang Jawa Timur dan telah mengemudikan truk dari tahun 2003. Truknya dipakai mengangkut cabe dari Blitar ke Jakarta. Ia juga pernah menjadi sopir truk Kalimantan. Dari Jakarta atau Surabaya menyeberang dengan kapal ke Balikpapan. Saat saya hubungi Ia sedang di Mataram membawa muatan mesin dari Jakarta. Ia harus mencari muatan untuk kembali ke Jakarta. Jika tidak, tak ada pemasukan baginya. Ia harus membayar 6 juta untuk Jakarta--Mataram pergi pulang.

Ia mengatakan uang preman itu ada. Mulai ribuan hingga jutaan. Yang meminta? mulai dari aparat hingga masyarakat. Tapi Ia mengatakan jumlahnya tak tentu. Daerah industri dan pergudangan di Jakarta Utara dan Banten hampir selalu ada uang preman. Hampir di tiap  persimpangan dimintai. Dulu saat membawa truk ukuran sedang dengan muatan cabe, atap bak truk Ia buat segitiga agak tinggi seperti atap rumah untuk sirkulasi udara agar cabe tidak rusak. Model bak truk seperti itu dipermasalahkan oleh aparat. Ratusan ribu dibayarkan untuk bisa lepas. Jika tidak, truk akan digelandang. Di jalan tol juga begitu. Meski tidak tentu bertemu petugas.

Karena uang-uang sejenis itu harus disiapkan, para pengusaha memaksimalkan muatan untuk menutupi pengeluaran tadi. Bak-bak truk dimodifikasi. Ukurannya diperbesar dan dipenuhi muatan. Sopir-sopir pun begitu. Muatan yang penuh tadi itu mereka tambah lagi dengan mencari muatan lain tanpa sepengetahuan pengusaha. Sopir truk yang saya hubungi mengatakan muatan tambahan itu untuk uang tambahan akibat ketidakpastian di jalan tadi. Alhasil Anda bisa lihat ukuran bak truk di negara kita. Yang lebih parah lagi, coba Anda lihat truk-truk yang menyeberang dengan kapal. Bahkan di kabin pengemudi, bemper depan dan belakang, samping hingga atas kabin dipenuhi muatan. Ada yang menamakannya truk gandol. Berapa berat truk itu? tak ada yang tahu. Nanti setelah turun dari kapal, muatan tambahan tadi sudah ditunggu pemiliknya. Lokasi bongkar itu tak jauh dari pelabuhan. Maka truk gandol semacam itu jarang ditemui di jalanan. Saat menyebrang, tarif truk dibedakan berdasarkan kelas kendaraan. Atau sumbu rodanya. Truk-truk besar itu berapapun beratnya atau penuh muatannya hingga menjulang, tarifnya tetap sama. Maka tak heran muatan truk benar-benar dimaksimalkan. Jika di jalan truk ODOL merusak infrastruktur jalan, kalau di kapal truk ODOL itu merusak struktur kapal, menghalangi sebaran springkler pemadam kebakaran, menghalangi akses di geladak kapal, dan menyulitkan pengaturan stabilitas kapal.

Melihat kondisi di atas saya juga bingung bagaimana menyelesaikan benang kusut ini. Wacana pemerintah untuk memberantas truk ODOL justru menimbulkan perbedaan antarkementerian. Kementerian Perhubungan kontra Kementerian Perindustrian. Kementerian PUPR yang jalannya rusak mungkin menjadi sekutu Kementerian Perhubungan. Wacana yang pernah dilontarkan Dirjen Perhubungan Darat itu akhirnya ditunda hingga 2021 atas protes kebijakan tersebut. 

Sekarang masih suasana pandemi. Pemerintah sedang menyelamatkan ekonomi. Para pengusaha berjuang menyelamatkan diri. Diprediksi hingga dua tahun kedepan dunia usaha belum normal kembali. Masalah ODOL sepertinya akan tetap muncul lagi.


Rabu, 22 Juli 2020

Takut Swab

Saat ini banyak orang yang khawatir akan korona. Kenapa? Karena orang-orang harus tetap beraktivitas normal, sementara diri sendiri atau orang di dekatnya tidak tahu apakah telah terkena virus atau belum. Pengumuman dari Jend. Doni Monardo kemarin 80% penderita korona di Indonesia merupakan orang tanpa gejala. Sampai-sampai muncul perasaan di dalam diri "jangan-jangan saya sudah kena" karena merasakan sedikit sakit di tenggorokan atau kepala.

Saya pun mengalaminya. Karena saya harus pergi ke kantor di Jakarta dengan menggunakan kereta. Sewaktu pembatasan sosial dulu, kantor masih memberlakukan skema kerja dari rumah dan giliran masuk kantor. Dalam seminggu hanya dua kali kerja di kantor. Saat itu saya terkadang membawa mobil. Namun semenjak harus kerja di kantor setiap hari saya terpaksa naik kereta. 

Dengan menggunakan kereta, potensi penularannya cukup tinggi. Maka ketika kantor mengadakan rapid tes, saya harap-harap cemas. Meskipun di berita-berita menyebutkan akurasi rapid tes tidak terlalu menggembirakan. Tetapi tetap ada kekhawatiran. Bagimana jika reaktif? bagaimana dengan keluarga? dan seterusnya. Syukur Alhamdulillah hasilnya negatif.

Minggu lalu saya dimasukkan dalam tim cadangan kegiatan pencarian kapal tenggelam di Ternate. Seluruh tim termasuk saya harus melakukan swab tes atau polymerase chain reaction PCR untuk memastikan personil yang diberangkatkan bebas dari korona. Setelah hampir dua bulan beraktivitas di kenormalan baru, saatnya diperiksa kemungkinan terkena korona. Saya cukup khawatir. Bukan saja akurasi tesnya yang lebih tinggi dibanding rapid, tetapi proses swab dengan mengambil cairan di mulut itu yang membuat saya trauma. Ditambah sehari sebelumnya saya melihat video proses swab itu di grup WA.

Sesampai di rumah sakit, tibalah giliran saya di-swab. Di dalam ruangan itu ada dua orang dokter. Sebelum swab, riwayat perjalanan dan penyakit saya dicatat oleh dokter. Itu penting untuk melacak pasien jika ternyata hasilnya positif. Dokter juga menjelaskan proses swab dan reaksi tubuh saya nantinya. Mual. Bersin. Bahkan bisa saja berdarah katanya. Saya tambah grogi. Setelah itu saya disuruh duduk di sebuah kursi. Seorang dokter dengan APD level 3 menyiapkan dua cotton bud dengan tangkai panjang. Pertama swab di mulut. Tangkai swab dimasukkan hingga ke dinding kerongkongan. Saya merasa sedikit mual. Swab kedua dilakukan di hidung. Cotton bud untuk hidung sedikit agak kecil dan tipis dibanding untuk mulut. Tangkai itu lalu dimasukkan ke lubang hidung kanan lalu ditarik keluar dan dimasukkan ke lubang kiri. Sedikit sakit, geli, dan aneh hingga air mata saya keluar ketika benda itu dimasukkan. Tubuh saya bereaksi seolah akan bersin. Setelah itu sudah. Hanya begitu saja.

Ketika keluar ruangan, teman-teman yang lain bertanya penasaran: "Gimana?". "Ternyata tak lebih sakit dari yang saya bayangkan" ucap saya. Tahun lalu saya melakukan endoskopi. Sebuah slang kamera dimasukkan ke dalam kerongkongan saya. Slang itu lebih besar dan panjang dibandingkan cotton bud tadi. Slang tadi terus dimasukkan hingga ke lambung lalu diputar-putar beberapa kali. Sakitnya? berkali-kali lebih parah daripada swab. 

Lima hari kemudian hasil swab keluar. Alhamdulillah tidak terdeteksi. Takut swab itu hilang. Saya justru lebih khawatir penyakit lambung saya kambuh. Agar jangan sampai ada endoskopi lagi.

Senin, 06 Juli 2020

Jahe Obat

Kali ini betul terbukti. Jahe sebagai obat sakit gigi. Alhamdulillah. 

Dua hari yang lalu. Gigi geraham atas kiri saya yang berlubang itu sakit. Walaupun saya masih bisa makan dengan gigi sisi kanan, tetapi sakitnya mengganggu keseimbangan tubuh saya. Empat bulan lalu gigi itu saya tambal sementara karena sakit. Dokter menyuruh saya untuk kembali dalam dua minggu. Namun tidak saya lakukan. Sampailah kemarin sakitnya kambuh. Malu jika saya harus ke dokter itu lagi. Saya masukkan serbuk kayu manis dicampur minyak zaitun ke gigi yang berlubang. Tak ada reaksi. Saya cari di internet obat alami sakit gigi. Yang pertama muncul adalah berkumur dengan air garam. Dua kali sudah saya lakukan. Namun sakitnya tak kunjung hilang.

Tengah malam saya terbangun. Sakitnya bertambah parah. Dari internet saya tahu jika jahe bisa mengobati gigi sakit. Saya ambil jahe lalu saya cincang halus. Kemudian saya taruh di gigi yang berlubang dan saya tekan dengan jari agar mememnuhi lubang gigi. Beberapa menit kemudian sakitnya langsung hilang. Akhirnya saya bisa kembali tidur dengan tenang. Esoknya sama sekali tak terasa sakit lagi.

Selain untuk mengobati sakit gigi, jahe juga pernah saya gunakan untuk mengobati kaki yang keseleo atau terkilir. Caranya, parut jahe dan tempelkan pada bagian yang terkilir. Balut bagian yang ditempeli parutan jahe dengan kain atau kasa. Ganti parutan jahe setelah 6 jam. Hangat jahe akan membantu peredaran darah di bagian yang sakit.

Bagi Anda penderita maag atau luka lambung atau GERD. Minum air jahe akan membantu mengobati permukaan lambung yang terkikis asam. Hal ini kerap saya lakukan ketika maag saya kumat. Saat maag kambuh, jumlah asam lambung sudah terlalu banyak. Memang asam itu diperlukan untuk membantu mencerna makanan. Masalahnya, lapisan pelindung penderita maag sudah sangat tipis karena sudah terlalu sering mengonsumsi makanan yang memicu asam di lambung untuk mencernanya. Akibatnya permukaan lambung mengalami luka atau radang. Inilah yang meyebabkan nyeri saat maag kambuh. Memang saya belum pernah seketika langsung mengonsumsi jahe saat maag menyerang. Saat seperti itu saya langsung minum air hangat untuk menetralisisr asam di lambung dan minum obat pereda nyeri serta pengurang asam lambung. 

Rasa pedas jahe dan aroma khasnya berasal dari berbagai senyawa kimia yang dikandungnya sering dijadikan obat mual dan berbagai penyakit. Jadi jika Anda sakit gigi, keseleo, atau luka lambung silakan mencoba jahe sebagai obat dan tentu saja semua atas izin Allah.

Rabu, 27 Mei 2020

Lebaran Korona



Tidak ada yang menyangka. Pandemi ini begitu hebatnya. Sampai-sampai saya terpaksa-untuk pertama kalinya-menjadi imam salat Id. Di rumah. Sampai dengan hari ini di Indonesia sudah 22ribu orang dinyatakan positif virus korona. Mungkin jumlah sebenarnya lebih dari itu. Dan setiap hari terus bertambah, sudah lebih dari dua bulan sejak kasus pertama diumumkan. Karena kondisi di lapangan benar-benar berbeda dengan yang dilihat di media atau televisi. Diberlakukannya pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran, toh hanya tegas di tempat-tempat tertentu saja. Di pasar, di jalan, di tempat umum masih banyak ditemui pelanggaran.

Bulan lalu saya harus membayar pajak kendaraan. Meskipun pembayarannya bisa dilakukan secara daring, tetapi bukti pajak tetap harus dicetak paling lama sejak pembayaran. Begitu bunyi aturannya. Maka terpaksa saya ke kantor Samsat Kabupaten Bogor. Padahal seharusnya bisa diakomodir secara daring juga. Di Samsat saya lihat ratusan orang sedang mengurus berbagai keperluan. Di pintu masuk, bak cuci tangan dan sabun disediakan. Seorang petugas keamanan memeriksa suhu tubuh setiap orang yang akan masuk. Semua orang harus mengenakan masker. Bangku-bangku di ruang tunggu diberi jarak, sebagian telah ditandai untuk tidak diduduki. Setiap orang dilarang untuk berdiri. Petugas langsung menegur jika terlihat orang-orang berdiri di depan loket. Saya lihat 99% bangku di area tunggu sudah terisi. Sebagian besar orang yang datang ke Samsat masih membayar dan mengurus secara konvensional. Karena pencetakan di loket pembayaran daring hanya beberapa orang yang mengantre. Padahal seharusnya bisa dilakukan secara daring untuk mencegah orang datang dan berkumpul.

Saya tanya teman di Makassar, kondisinya tidak jauh berbeda. Saat Jakarta heboh dengan korona, Makassar masih tenang. Setelah awak kapal penumpang yang melayani rute ke Makassar dan acara keagamaan di Gowa, hingga hari ini Makassar menjadi epicentrum baru penyebaran korona. Acara keagamaan itu diikuti orang-orang dari berbagai daerah hingga orang dari luar negeri. Saat acara itu dibatalkan, sebagai orang-orang itu dipulangkan dengan kapal. Maka tidak heran jika virus ini menyebar kemana-mana. Di kapal, pendingin udara menggunakan pendingin udara sentral. Udara di dalam ruang disirkulasikan kembali melewati pendingin. Bisa dibayangkan bagaimana cepatnya virus  menyebar. Tidak lama setelah itu, kapal-kapal penumpang itu berhenti beroperasi. Sebagian awaknya terjangkit virus. Di Makassar pun sama. Meski diberlakukan pembatasan sosial, kondisi di lapangan tidak banyak berubah. Meski toko dan rumah ibadah diminta untuk tutup. Masih banyak yang nakal dan curi-curi.

Baru-baru ini saya menerima kiriman WhatApps, isinya kira-kira begini: Orang Indonesia itu di luar negeri bisa patuh. Sementara orang asing di Indonesia juga banyak tidak pakai helm atau juga buang sampah sembarangan. Intinya aturan yang sudah dibuat harusnya ditegakkan. Coba lihat sudah berapa banyak orang-orang yang pulang kampung meski sudah dilarang. Maka tak heran di daerah-daerah penyebarannya semakin luas.

Mari lihat di Belanda. Meski tidak ada larangan bepergian di sana. Tetapi berani membuka tempat hiburan, wisata dan olahraga atau sejenisnya didenda 4ribu euro. Tidak menjaga jarak 1,5 meter saja didenda 4ratus euro per orang. Ada satu keluarga didenda karena mereka duduk bersama tanpa menjaga jarak. Tapi meskipun jumlah kasus di Belanda lebih banyak, minggu lalu sekolah di sana sudah mulai buka. Alasannya tentu korona bisa dikendalikan dan tidak ada kasus korona pada anak. Di sana setiap hari sebanyak 30ribu orang dites. Gratis. Jangan tanya di Indonesia. Anda tahu jawabannya.

Maka itu, lebaran ini berbeda. Saya habiskan di rumah. Telepon video dengan keluarga. Tapi sebagian lainnya tetap sama. Pergi ke pasar. Membeli baju baru. Berkumpul bersama. Merayakan kemenangan akan kebebasan dan pelanggaran. Dari korona yang tak terlihat.

Jadi, melihat kondisi di Indonesia, yang sepertinya kita dipaksa untuk masuk ke kenormalan baru. Maka siapkanlah perbekalan. Ubah perilaku. Kalau tidak, bisa-bisa Anda akan tidak akan bertemu lebaran tahun depan. Semoga Allah melindungi kita semua.

Taqoballallahu minna wa minkum...Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441H

Sabtu, 15 Februari 2020

Dompet di Buru



Perjalanan dari bandara ke Pelabuhan Namlea langsung disuguhi pepohonan kayu putih. Sebuah pondok kecil di sisi kanan jalan saat kami melintas terlihat telah mengeluarkan asap putih pagi itu. Itulah proses menyuling minyak kayu putih oleh masyarakat. Saya harus beli nanti. Minyak kayu putih asli Buru.

Pohon Minyak Kayu Putih di pinggir jalan
Pulau Buru sisi utara berupa perbukitan batu. Tak banyak pohon tumbuh. Atau mungkin sudah ditebangi. Di pinggir pantai, saya lihat kayu-kayu gelondongan siap diangkut.

Kami menginap di Awista. Hotel dekat pelabuhan. Yang didekatnya banyak warung makan. Hari pertama tiba di Namlea langsung dipusingkan  oleh hilangnya dompet saya. Saya betul-tidak menyadari. Terakhir dompet hitam itu saya keluarkan saat transit akan naik pesawat di Bandara Pattimura. Setelah itu saya merasa tak mengeluarkannya dari kantung celana. Setelah menggeledah tas, pakaian, dan kamar. Saya simpulkan dompet itu terjatuh. Tapi entah di mana. Kantung belakang celana saya memang agak longgar. Saya perkirakan jatuh di dua tempat setelah pemilik mobil yang mengantarkan kami ke Namlea mengatakan tidak menemukan dompet saya di mobilnya.

Tempat pertama, dompet itu jatuh di pesawat. Pihak maskapai sudah saya hubungi dan menyatakan tidak ada dompet tertinggal di pesawat. Hanya ada sekantung buah. Tapi mereka berjanji meneruskan laporan saya di grup maskapai. Karena pesawat pagi tadi itu langsung kembali ke Ambon.
Kedua, di toilet bandara. Turun pesawat saya buru-buru ke toilet karena sakit perut. Kemungkinan dompet itu jatuh. Tapi seingat saya tidak ada benda di lantai waktu saya akan keluar dari toilet. Dan yang membuat saya agak tenang jika benar jatuh di toilet, supir tadi yang mengantarkan kami mengatakan mertuanya kerja di bandara sebagai petugas kebersihan. Nanti akan ditanyakan.

Saya berusaha mengikhlaskan dompet itu. Meski terus digoda berpikir rencana mengurus segala macam kartu-kartu di dompet. Gampang, gumam saya berusaha menghibur diri. Nanti pulang dari Namlea langsung ambil cuti untuk mengurus semua kartu-kartu itu. Saat itu pula saya sempatkan memblokir kartu ATM.

Sampai malam hari. Saya memutuskan untuk memohon bantuan-Nya. Saya berpikir kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga tertimpa musibah ini. Sebelum tidur saya memohon ampunan Nya dan teringat kisah tiga orang yang terjebak di gua. Mereka keluar setelah memohon kepada Allah dengan menyebut kebaikan yang pernah mereka perbuat. Saya lalu mengingat kebaikan yang pernah saya lakukan. Sewaktu akan berangkat kemarin, saya sempat memindahkan seekor bekicot dari jalan. Agar bekicot itu tidak terlindas. Saya niatkan karena ingin mendapat pahala dari Allah. Kebaikan itulah yg saya sebut kepada Nya. "Seandainya perbuatanku itu bernilai ibadah di sisi Mu, berilah kemudahan aku menemukan dompet ku ya Allah", pinta saya. Lalu saya tidur.

Besok pagi saat akan ke lapangan, teman sekamar saya memeriksa tas kecilnya. Dan dompet saya ada di dalam situ. Saya tidak pernah menaruh dompet di tas kecil itu, dan teman saya tidak mungkin memasukkan dompet saya ke dalam tasnya. Karena bentuk dan warna dompet kami berbeda. Alhamdulillah saya bersyukur memuji Allah.

Setelah selesai tugas di hari ke dua. Kami pergi melihat proses penyulingan minyak kayu putih di sebuah pondok kayu sederhana milik seorang warga. Pulau Buru ternyata dihujani oleh pohon kayu putih saat Allah menciptakan bumi. Hampir di setiap tempat pohon itu tumbuh. Pohon itu tidak ditanam. Meskipun pohonnya dipotong, dibakar, di musim kemarau, daunnya akan tetap tumbuh. Dari daun itulah minyak kayu putih dibuat. Dengan cara yang sama. Sejak ratusan tahun lalu. 

Para penyuling minyak mengumpulkan daun dari pohon kayu putih berdasarkan wilayah mereka. Masing-masing punya wilayah untuk memetik daunnya. Setelah daun dipetik lalu dijemur. Daun kayu putih di dataran tinggi akan menghasilkan minyak yang lebih bagus. Daun itu lalu direbus di sebuah ember raksasa. Yang  terbuat dari kayu. Yang di bawahnya terdapat kuali. Daun itu dimasak selama 8 jam. Uap nya dilewatkan ke ember raksasa di sebelahnya untuk didinginkan menjadi air lalu dialirkan ke sebuah jeriken kecil yang diletakkan di sebuah wadah berair. Air di jeriken itu mengandung minyak. Jeriken kecil itu bagian bawahnya telah dilubangi agar air yang lebih berat dari minyak bisa terdesak ke luar. 

Dalam sehari dengan menggunakan dua ember raksasa itu mereka menghasilkan dua botol minyak kayu putih seharga 200rb per botol. Daun kayu putih sisa hasil rebusan penyulingan ditumpuk di belakang pondok. Beberapa orang mengambilnya untuk pupuk. Tahukah Anda, minyak kayu putih yang anda gunakan itu dari pulau ini.

Dua ember kayu raksasa
Minyak hasil sulingan ditampung di jeriken
Kami hadir di Namlea di waktu yang tepat. Bulan Januari pas musim durian tiba. Harganya serenteng 25rb. Ada 4-5 buah serenteng. Ukuran se-bola takraw. Rasanya manis daging sedang. Berwarna putih kekuningan. Masak di batang. Saya membeli untuk dibawa pulang. Saya masukkan ke dalam kotak plastik lalu diisolasi.

Mungkin pembaca baru mengetahui jika di Pulau Buru ada tambang emas. Tambang emas itu berada di Gunung Botak. Pada tahun 2011 cerita kejayaan emas itu dimulai. Banyak orang di Pulau Buru seketika menjadi penambang emas. Tidak terkecuali aparat. Yang ditugaskan melarang warga. Di Gunung Botak itu konon dengan sedikit menggali saja sudah ditemukan emas. Para pendatang dari luar pulau berbondong-bondong datang. Dari Jawa dan Sulawesi. Yang lebih ahli urusan tambang emas. Sistem sosial di Pulau Buru kacau. Penambang adalah raja. Tak ada yang mau kerja di ladang dan sawah lagi. Bahkan aparat pun ikut menambang. Para penambang itu rumahnya mungkin sederhana tapi pulang menambang ia bisa membeli dua mobil.

Dalam sehari mereka bisa menghasilkan jutaan rupiah. Sama dengan upah sebulan kerja di kantor. Kata orang pada waktu itu yang tinggal di kantor hanya bupati dan wakilnya saja. Berkilo-kilo emas didapat. Banyak orang jadi jutawan. Semua mengambil untung dari manisnya tambang emas. Tak ketinggalan wanita penghibur. Yang minta dibayar dengan gram emas.

Tapi cerita itu tak berlangsung lama. Keserakahan membutakan mata. Korban jiwa berjatuhan di dalam tambang. Karena tambang dibuat secara sederhana. Banyak orang tertimbun di lubang-lubang galian. Tambang itu pun kini ditutup. Pernah seorang pandai mengatakan, bukanlah emas benda bernilai yang ada di dalam gunung tersebut, melainkan berlian.

Malam terakhir di Namlea kami nikmati dengan menyantap durian di tepi jalan. Merayakan dompet yang tak jadi hilang. Kami bergurau akan kembali ke Pulau Buru lagi. Saat tambang emas Gunung Botak itu diisukan dibuka kembali. Bulan depan.

Jumat, 03 Januari 2020

Lewoleba-Kupang


Ini ketiga kalinya saya ke Nusa Tenggara Timur. Kali ini rutenya ke Kupang lalu ke Lewoleba. Dari Kupang ke Lewoleba harus lewat Larantuka. Sebenarnya ada yang langsung. Pilihannya naik pesawat atau kapal feri yang butuh 12 jam sampai. Namun pesawat penuh. Karena harus segera, terpaksa kami lewat Larantuka. Penerbangan hanya 50 menit menggunakan pesawat ATR. Dari Bandara Larantuka kami langsung naik taksi ke pelabuhan. Supir taksi pun sudah tahu kami mengejar kapal feri pagi ke Lewoleba. Tiba di pelabuhan kapal masih menaikkan penumpang dan barang. Belasan motor tersusun rapi di haluan kapal. Saya memilih bersantai di samping kiri anjungan memperhatikan jernihnya air laut. Itu adalah sebuah kapal feri kayu tradisional. Geladaknya ada dua. Ada pula kapal feri modern atau kapal cepat. Sejam sampai. Namun jadwalnya pukul 11.00 WITA.

Kapal berangkat pukul 08.00 WITA. Perjalanan dengan kapal dari Larantuka ke Lewoleba ditempuh selama 3 jam. Itu sudah termasuk mampir di Waiwerang. Kapal melaju dengan tenang. Membelah laut pagi yang tampak seperti cermin. Perbukitan Pulau Adonara dengan Gunung Ile Boleng-nya menjadi pemandangan menarik selama perjalanan. Di tengah pelayaran, awak kapal memungut ongkos, Larantuka-Lewoleba kena Rp50ribu.

Pulau Adonara

Sekitar pukul 09.30 WITA, kapal tiba di Pelabuhan Waiwerang. Penumpang turun dan naik bergantian. Menggunakan sebuah papan kayu. Begitu pun bocah penjaja makanan. Mereka berebut naik menawarkan dagangannya. Beberapa motor di haluan kapal dinaikkan ke dermaga. Diangkat oleh tiga orang. Setelah menunggu setengah jam, kapal melanjutkan pelayarannya.

Naik turun penumpang di Waiwerang
Kapal terus melaju ke timur, memotong Selat Boleng. Satu setengah jam perjalanan, kapal tiba di Lewoleba. Pelabuhan ini terletak di Teluk Leba-Leba dan masuk ke dalam wilayah Kabupaten Lembata. Sebuah daerah pemekaran baru. Sebagai daerah baru, pemerintah mencoba mengembangkan potensi yang dimiliki daerah ini. Kebanyakan masyarakat di sana bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di luar negeri.

Setelah menyelesaikan tugas, kami kembali ke Kupang. Kali ini langsung dari bandar udara Wunopito, Lembata menuju El Tari dengan pesawat ATR 42.

Di Kupang kali ini saya menikmati masakan laut yang segar. Saya menginap di Aston yang di seberangnya ada pasar ikan Kelapa Lima. Ada belasan lapak pedagang ikan di sana. Hanya ada ikan, cumi, dan udang. Tanpa nasi. Kita bisa memilih ikannya dan dapat langsung dibakar oleh penjualnya.

Pasar Malam Solor
Selain Kelapa Lima, ada pula Pasar Ikan Malam Solor. Sebuah pusat kuliner hidangan laut kaki lima yang hanya buka malam hari. Pasar ini terletak di jalan Kosasih. Para pedagang memajang ikan di depan warungnya. Jika di Kelapa Lima hanya bisa dibakar, di sini anda dapat memilih mau dimasak apa. Menunya lebih beragam. Dari ikan yang mati sekali.



Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...