Sabtu, 15 Februari 2020

Dompet di Buru



Perjalanan dari bandara ke Pelabuhan Namlea langsung disuguhi pepohonan kayu putih. Sebuah pondok kecil di sisi kanan jalan saat kami melintas terlihat telah mengeluarkan asap putih pagi itu. Itulah proses menyuling minyak kayu putih oleh masyarakat. Saya harus beli nanti. Minyak kayu putih asli Buru.

Pohon Minyak Kayu Putih di pinggir jalan
Pulau Buru sisi utara berupa perbukitan batu. Tak banyak pohon tumbuh. Atau mungkin sudah ditebangi. Di pinggir pantai, saya lihat kayu-kayu gelondongan siap diangkut.

Kami menginap di Awista. Hotel dekat pelabuhan. Yang didekatnya banyak warung makan. Hari pertama tiba di Namlea langsung dipusingkan  oleh hilangnya dompet saya. Saya betul-tidak menyadari. Terakhir dompet hitam itu saya keluarkan saat transit akan naik pesawat di Bandara Pattimura. Setelah itu saya merasa tak mengeluarkannya dari kantung celana. Setelah menggeledah tas, pakaian, dan kamar. Saya simpulkan dompet itu terjatuh. Tapi entah di mana. Kantung belakang celana saya memang agak longgar. Saya perkirakan jatuh di dua tempat setelah pemilik mobil yang mengantarkan kami ke Namlea mengatakan tidak menemukan dompet saya di mobilnya.

Tempat pertama, dompet itu jatuh di pesawat. Pihak maskapai sudah saya hubungi dan menyatakan tidak ada dompet tertinggal di pesawat. Hanya ada sekantung buah. Tapi mereka berjanji meneruskan laporan saya di grup maskapai. Karena pesawat pagi tadi itu langsung kembali ke Ambon.
Kedua, di toilet bandara. Turun pesawat saya buru-buru ke toilet karena sakit perut. Kemungkinan dompet itu jatuh. Tapi seingat saya tidak ada benda di lantai waktu saya akan keluar dari toilet. Dan yang membuat saya agak tenang jika benar jatuh di toilet, supir tadi yang mengantarkan kami mengatakan mertuanya kerja di bandara sebagai petugas kebersihan. Nanti akan ditanyakan.

Saya berusaha mengikhlaskan dompet itu. Meski terus digoda berpikir rencana mengurus segala macam kartu-kartu di dompet. Gampang, gumam saya berusaha menghibur diri. Nanti pulang dari Namlea langsung ambil cuti untuk mengurus semua kartu-kartu itu. Saat itu pula saya sempatkan memblokir kartu ATM.

Sampai malam hari. Saya memutuskan untuk memohon bantuan-Nya. Saya berpikir kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga tertimpa musibah ini. Sebelum tidur saya memohon ampunan Nya dan teringat kisah tiga orang yang terjebak di gua. Mereka keluar setelah memohon kepada Allah dengan menyebut kebaikan yang pernah mereka perbuat. Saya lalu mengingat kebaikan yang pernah saya lakukan. Sewaktu akan berangkat kemarin, saya sempat memindahkan seekor bekicot dari jalan. Agar bekicot itu tidak terlindas. Saya niatkan karena ingin mendapat pahala dari Allah. Kebaikan itulah yg saya sebut kepada Nya. "Seandainya perbuatanku itu bernilai ibadah di sisi Mu, berilah kemudahan aku menemukan dompet ku ya Allah", pinta saya. Lalu saya tidur.

Besok pagi saat akan ke lapangan, teman sekamar saya memeriksa tas kecilnya. Dan dompet saya ada di dalam situ. Saya tidak pernah menaruh dompet di tas kecil itu, dan teman saya tidak mungkin memasukkan dompet saya ke dalam tasnya. Karena bentuk dan warna dompet kami berbeda. Alhamdulillah saya bersyukur memuji Allah.

Setelah selesai tugas di hari ke dua. Kami pergi melihat proses penyulingan minyak kayu putih di sebuah pondok kayu sederhana milik seorang warga. Pulau Buru ternyata dihujani oleh pohon kayu putih saat Allah menciptakan bumi. Hampir di setiap tempat pohon itu tumbuh. Pohon itu tidak ditanam. Meskipun pohonnya dipotong, dibakar, di musim kemarau, daunnya akan tetap tumbuh. Dari daun itulah minyak kayu putih dibuat. Dengan cara yang sama. Sejak ratusan tahun lalu. 

Para penyuling minyak mengumpulkan daun dari pohon kayu putih berdasarkan wilayah mereka. Masing-masing punya wilayah untuk memetik daunnya. Setelah daun dipetik lalu dijemur. Daun kayu putih di dataran tinggi akan menghasilkan minyak yang lebih bagus. Daun itu lalu direbus di sebuah ember raksasa. Yang  terbuat dari kayu. Yang di bawahnya terdapat kuali. Daun itu dimasak selama 8 jam. Uap nya dilewatkan ke ember raksasa di sebelahnya untuk didinginkan menjadi air lalu dialirkan ke sebuah jeriken kecil yang diletakkan di sebuah wadah berair. Air di jeriken itu mengandung minyak. Jeriken kecil itu bagian bawahnya telah dilubangi agar air yang lebih berat dari minyak bisa terdesak ke luar. 

Dalam sehari dengan menggunakan dua ember raksasa itu mereka menghasilkan dua botol minyak kayu putih seharga 200rb per botol. Daun kayu putih sisa hasil rebusan penyulingan ditumpuk di belakang pondok. Beberapa orang mengambilnya untuk pupuk. Tahukah Anda, minyak kayu putih yang anda gunakan itu dari pulau ini.

Dua ember kayu raksasa
Minyak hasil sulingan ditampung di jeriken
Kami hadir di Namlea di waktu yang tepat. Bulan Januari pas musim durian tiba. Harganya serenteng 25rb. Ada 4-5 buah serenteng. Ukuran se-bola takraw. Rasanya manis daging sedang. Berwarna putih kekuningan. Masak di batang. Saya membeli untuk dibawa pulang. Saya masukkan ke dalam kotak plastik lalu diisolasi.

Mungkin pembaca baru mengetahui jika di Pulau Buru ada tambang emas. Tambang emas itu berada di Gunung Botak. Pada tahun 2011 cerita kejayaan emas itu dimulai. Banyak orang di Pulau Buru seketika menjadi penambang emas. Tidak terkecuali aparat. Yang ditugaskan melarang warga. Di Gunung Botak itu konon dengan sedikit menggali saja sudah ditemukan emas. Para pendatang dari luar pulau berbondong-bondong datang. Dari Jawa dan Sulawesi. Yang lebih ahli urusan tambang emas. Sistem sosial di Pulau Buru kacau. Penambang adalah raja. Tak ada yang mau kerja di ladang dan sawah lagi. Bahkan aparat pun ikut menambang. Para penambang itu rumahnya mungkin sederhana tapi pulang menambang ia bisa membeli dua mobil.

Dalam sehari mereka bisa menghasilkan jutaan rupiah. Sama dengan upah sebulan kerja di kantor. Kata orang pada waktu itu yang tinggal di kantor hanya bupati dan wakilnya saja. Berkilo-kilo emas didapat. Banyak orang jadi jutawan. Semua mengambil untung dari manisnya tambang emas. Tak ketinggalan wanita penghibur. Yang minta dibayar dengan gram emas.

Tapi cerita itu tak berlangsung lama. Keserakahan membutakan mata. Korban jiwa berjatuhan di dalam tambang. Karena tambang dibuat secara sederhana. Banyak orang tertimbun di lubang-lubang galian. Tambang itu pun kini ditutup. Pernah seorang pandai mengatakan, bukanlah emas benda bernilai yang ada di dalam gunung tersebut, melainkan berlian.

Malam terakhir di Namlea kami nikmati dengan menyantap durian di tepi jalan. Merayakan dompet yang tak jadi hilang. Kami bergurau akan kembali ke Pulau Buru lagi. Saat tambang emas Gunung Botak itu diisukan dibuka kembali. Bulan depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cabut Bungsu

Saya baru tahu ada gigi yg baru tumbuh saat sudah kita dewasa. Gigi bungsu namanya. Letaknya paling belakang.  Dulu saya sering menghitung j...